Dalam gugatannya, JPMorgan menuduh Charlie Javice dan Olivier Amar meminta direktur teknik Frank untuk membuat detil pelanggan palsu dengan menggunakan data yang dihasilkan oleh algoritma komputer. Permintaan itu ditolak. Keduanya kemudian menemukan seorang "profesor data science” di sebuah perguruan tinggi dekat New York dan membujuknya untuk membuat jutaan akun palsu.
Atas gugatan itu, pengacara Charlie Javice bernama Alex Spiro berpendapat JPMorgan terburu-buru untuk membeli Frank tanpa melakukan uji tuntas yang tepat dan juga berusaha mengalihkan perhatian dari pelanggaran undang-undang privasi pelajar.
“JPMorgan melakukan pelanggaran dan kemudian mencoba mengubah kesepakatan,” ujar Alex Spiro. Dia menyebut gugatan JPMorgan sebagai tindakan “menutupi” kasus tersebut.
Informasi saja, pada pengadilan yang sama Charlie Javice juga menuntut JPMorgan. Charlie Javice menuduh JPMorgan meluncurkan penyelidikan internal atas kesepakatan akuisisi Frank sebagai dalih untuk memecatnya dari posisi Head of Student Solution dan menolak memberikannya bonus retensi (bonus yang diberikan untuk mempertahankan karyawan) sebesar US$ 20 juta.
Charlie Javice dalam gugatannya kepada JPMorgan menyebutkan dia mengeluarkan dana "ratusan ribu" dolar untukfirma Spiro, Quinn Emanuel, dan firma hukum Mintz Levin.
"JPMorgan Bank telah menolak untuk memenuhi kewajibannya "berdasarkan perjanjian pembelian Frank dan telah" menolak untuk membayar biaya di muka" setelah pembayaran awal, kata gugatan itu.
(roy/hps)