"Itu kan sama artinya dengan memaksa rakyat untuk membeli BBM yang lebih mahal, karena BBM yang murah, yakni Pertalite, dihapus. Juga memaksa negara untuk mengimpor bioetanol, karena produksi dalam negeri minim," tambahnya.
Lebih lanjut, dia berpendapat jika Pertamina terus menggulirkan wacana tersebut, bukan tidak mungkin beban anggaran negara akan makin berat dan defisit transaksi migas pun akan kian bengkak.
“Pertamina offside dalam masalah ini, karena itu sebaiknya Pertamina tidak membahas masalah itu lagi. Siapa yang untung bila rencana ini benar-benar dilaksanakan? Yang untung adalah para importir dan mafia migas, sementara masyarakat akan makin berat. Sudah jatuh tertimpa tangga pula,” ujar politisi PKS tersebut.
Dia pun menggarisbawahi usulan Pertamina membutuhkan kajian mendalam terkait dengan aspek teknis, keekonomian dan besaran subsidi untuk produksi serta distribusi. Sejauh ini, baik lembaga legislatif maupun eksekutif belum pernah membahas hal tersebut.
Dalam Asumsi Makro APBN 2024, yang baru saja ditetapkan Komisi VII DPR RI bersama Pemerintah Kamis (31/8/2023), pun tidak ada pembicaraan ihwal penghapusan Pertalite maupun konversi menjadi Pertamax Green 92 pada 2024.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan rencana mengonversi Pertalite dengan bauran bioetanol 7% (E7) ternyata masih kajian internal perseroan.
“Belum ada keputusan apa pun dari pemerintah. Tentu ini akan kami putuskan dan bahas lebih lanjut,” tuturnya di kompleks parlemen, Rabu (30/8/2023).
Namun, jika pemerintah menyetujui Pertamax Green 92 menggantikan Pertalite pada 2024, Nicke memastikan harga jualnya akan diregulasi layaknya jenis BBM khusus penugasan (JBKP), yang nilainya tidak dilepaskan ke mekanisme pasar.
“Ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya. Kami mengusulkan [Pertamax Green 92] dengan harga yang sama [dengan Pertalite]. [...] Jadi usulannya itu. Namun, kembali lagi, supaya tidak menjadi perdebatan di publik, saya ingin menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari kajian internal kami yang kami usulkan ke pemerintah. Namun, implementasinya, tentu ini menjadi ranah pemerintah untuk memutuskan,” tegasnya.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII hari itu, Nicke juga mengutarakan rencana Pertamina untuk hanya menjual tiga jenis bensin pada 2024, yang diklaim lebih ramah lingkungan. Dari ketiganya, tidak akan ada lagi BBM bersubsidi jenis Pertalite.
Menurut Nicke, jenis bensin yang akan dijual perseroan pada tahun depan adalah Pertamax Turbo, Pertamax Green 92, dan Pertamax Green 95.
Adapun, Pertalite akan bertransformasi dari angka oktan atau research octane number (RON) 90 menjadi 92 dengan jenama Pertamax Green 92. Bahan bakar tersebut, kata Nicke, merupakan bauran antara Pertalite dengan bahan bakar berbasis nabati (BBN) berbasis etanol 7% atau E7
"Ini sudah sangat pas. Pertama, aspek lingkungan bisa turunkan karbon emisi. Kedua, mandatori bioetanol bisa kita penuhi. Ketiga, kita menurunkan impor bahan bakar. Mohon dukungan, agar kami mengeluarkan Pertamax Green 92," tegas Nicke.
Pergantian tersebut, kata Nicke, juga sebagai respons aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang memandatkan RON bahan bakar yang bisa dijual di Indonesia minimum sebesar 91.
(wdh)