PLTU yang berlokasi di Cilegon, Banten tersebut belakangan mendapatkan sorotan setelah berbagai kalangan mencurigainya sebagai salah satu penyebab pemburukan kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Dikelola oleh anak usaha PT PLN (Persero), PT Indonesia Power, PLTU Suralaya tercatat sebagai salah satu pembangkit batu bara terbesar di Indonesia dengan kapasitas listrik menembus 3.400 MW.
PLTU tersebut juga memproduksi 50% dari total produksi PT Indonesia Power dan berkontribusi 18% terhadap pasok listrik di Jawa—Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengonsumsi batu bara kurang lebih 35.000 ton per hari.
Direktur Utama PT Indonesia Power Edwin Nugraha Putra mengatakan PLN Group telah menjalankan dan menjaga emisi PLTU yang dikelolanya sesuai dengan regulasi yang dimandatkan pemerintah.
“Kami telah menetapkan standar pemasangan ESP pada tiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan selalu aman dan berada di bawah ambang batas, sesuai dengan Permen LHK No. 15/2019. Ambang batas partikulat adalah 100 mg/m3, sedangkan hasil pengukuran partikulat di Suralaya di bawah 60 mg/m3,” tegas Edwin.
Polutan Suralaya Tak Jangkau Jakarta
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari menyebut telah melakukan kajian dampak kegiatan PLTU milik PLN terhadap potensi polutan lintas batas dengan model dispersi selama 1—22 Agustus 2023.
Berdasarkan hasil risetnya, Puji juga mengeklaim PLTU Suralaya sudah memenuhi aturan pemerintah, khususnya ihwal pengelolaan emisi yang dihasilkan.
Dia mendetailkan, memang terdapat polutan lintas batas (transboundary air polutant) dari PLTU Suralaya, terutama pada musim penghujan. Namun, konsentrasinya relatif kecil terhadap Jakarta dan tidak terjadi polutan lintas batas pada musim kemarau.
“Konsentrasi polutan pada Agustus 2023 cenderung kecil dan tidak terjadi transboundary ke arah Jakarta baik untuk polutan PM2.5; NOx dan SO2," jelas Puji.
Menteri KLH Siti Nurbaya sebelumnya menyebut jika sumber pencemaran udara di wilayah Jabodetabek disebabkan oleh emisi transportasi sebesar 44%, dan 34% melalui PLTU.
(wdh)