Melalui Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Kelapa Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countrie (CPOPC), Fadillah juga akan mendorong upaya penghiliran industri kelapa sawit, baik di Malaysia maupun Indonesia.
Dengan demikian, kedua negara tidak lagi bergantung pada penjualan CPO atau minyak goreng kelapa sawit yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor.
"Kami ini ingin fokus tidak pada [ekspor] minyak kelapa sawitnya atau produk minyak goreng, tetapi pada produk turunannya. Kami ingin adanya penghiliran, kerja sama pengembangan produk-produk untuk kecantikan, kesehatan, dan oleokimia," tutur Dato' Sri Fadillah.
Langkah tersebut, menurutnya, juga penting untuk menghadapi harga minyak kelapa sawit yang masih fluktuatif. Sejak awal 2023, diketahui terjadi tren penurunan harga CPO, seiring dengan melemahnya permintaan global di tengah ancaman resesi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, penyetopan pengiriman minyak kelapa sawit dan produk-produk turunannya ke UE bukanlah langkah yang bijak.
Indonesia dan Malaysia fokus untuk mengupayakan pengakuan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) oleh Uni Eropa.
"Kesamaan standar in menjadi hal penting, tidak hanya untuk minyak kelapa sawit, tetapi juga untuk produk-produk turunannya," tegasnya.
Permasalahan diskriminasi CPO bermula saat Uni Eropa menyetujui undang-undang bersejarah pada Desember 2022. Beleid tersebut akan menghentikan penjualan produk yang menyebabkan kerusakan hutan di toko-toko ritel modern Eropa.
Produk seperti kayu, karet, daging sapi, kulit, kakao, kopi, minyak sawit, dan kedelai tidak akan berhasil melewati pelabuhan kecuali terbukti bebas deforestasi.
Secara kumulatif, Malaysia dan Indonesia menghasilkan lebih dari 80% pasokan minyak sawit dunia. Kedua negara berkeras bahwa aturan UE bersifat diskriminatif dan berisiko memutus akses pasar bagi jutaan petani kecil di seluruh wilayah dunia, termasuk Amerika Latin dan Afrika, yang tidak memiliki sarana untuk memenuhi persyaratan ketertelusuran yang lebih ketat.
Menyitir data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO dan produk turunannya sepanjang 2022 hanya menyentuh 30,803 juta ton, atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sebanyak 33,674 juta ton.
Capaian tersebut juga menandai tahun ke-4 berturut-turut di mana ekspor CPO dan produk turunannya dari Indonesia turun dari tahun ke tahun.
Secara nilai, ekspor 2022 mencapai US$39,28 miliar, lebih tinggi dari tahun 2021 sebesar US$ 35,5 miliar. Ini terjadi karena memang harga produk sawit pada tahun lalu relatif lebih tinggi dari harga 2021.
Adapun, 10 negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia berturut-turut adalah China, India, Amerika Serikat, Pakistan, Malaysia, Belanda, Bangladesh, Mesir, Rusia dan Italia. AS naik dari peringkat ke-5 pada 2020 menjadi peringkat ke-3 sebagai negara pengimpor utama produk sawit Indonesia pada 2022.
(wdh)