Memulihkan stabilitas harga semakin menjadi prioritas sejak Presiden Recep Tayyip Erdogan terpilih kembali pada Mei, dan merombak tim ekonominya dengan menunjuk Menteri Keuangan Mahmet Simsek dan Gubernur Bank Sentral Hafize Gaye Erkan.
Upaya untuk mengakhiri era biaya pinjaman yang sangat rendah sejauh ini mencakup tiga kenaikan suku bunga oleh bank sentral menjadi 25%, dan pencabutan sejumlah peraturan yang berupaya menjaga kredit tetap murah.
Namun, depresiasi terbesar kedua di pasar negara-negara berkembang tahun ini masih berdampak pada perekonomian dan memperbesar dampak kenaikan pajak yang baru-baru ini diumumkan oleh pemerintah untuk membiayai defisit anggaran yang semakin membesar. Kenaikan lira sejak kenaikan suku bunga yang lebih besar dari perkiraan pada akhir Agustus mungkin akan mengurangi sedikit tekanan pada harga.
Selva Bahar Baziki, ekonom dari Bloomberg Economics mengatakan peningkatan terbaru nilai lira kemungkinan tidak akan memicu diskon harga, "tetapi dapat berkontribusi pada laju kenaikan harga yang lebih lambat selama sisa tahun ini."
"Kami mempertahankan perkiraan laju inflasi akhir tahun sebesar 57%, tetapi menyadari risiko telah muncul dari kedua pihak," lanjutnya.
Sebagian besar analis Wall Street mengatakan perlunya pengetatan lebih lanjut. Menurut survei Bloomberg terhadap para ekonom dari 25 Agustus hingga 30 Agustus, ekspektasi inflasi rata-rata akhir tahun telah melonjak menjadi 65%.
Dampak dari langkah-langkah baru-baru ini, termasuk kenaikan suku bunga yang tajam, "hanya akan terasa sebentar saja," kata analis Goldman Sachs Group Inc. yang dipimpin oleh Kevin Daly dalam sebuah laporan sebelum data dirilis.
"Oleh karena itu, kami mengharapkan tekanan biaya yang kuat akan terus mendorong inflasi lebih tinggi dalam waktu dekat."
--Dengan asistensi dari Joel Rinneby.
(bbn)