Negeri tersebut sudah mulai mempelajari polusinya sejak 1998 namun kemudian pada 2003-2008 sebelum Olimpiade Beijing, China mengeksekusi dengan gesit penyebab utama polusi udara antara lain mentransformasi PLTU menjadi tenaga gas. Tak hanya itu, konversi penggunaan batu bara di industri dan rumah tangga menjadi gas juga dilakukan.
Sementara di Indonesia, paket-paket intervensi hingga penegakan hukum terhadap industri yang nakal dan menggunakan PLTU tanpa scrubber 'penyaring' diklaim pemerintah mulai dilakukan.
Jika didaftarkan, selain WFH dan uji emisi, solusi jangka pendek yang dilakukan seperti memancing hujan di kawasan Jabodetabek dengan rekayasa cuaca dan menerapkan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi EURO 5 dan EURO 6. Selain itu pemerintah akan memperbanyak ruang terbuka.
Solusi jangka menengah, Presiden meminta bawahannya konsisten melaksanakan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil sekaligus mendorong masyarakat beralih ke transportasi massal seperti Lintas Rel Terpadu (LRT), Moda Raya Terpadu (MRT) hingga kereta cepat. Kemudian untuk solusi jangka panjang, pemerintah memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Di samping itu pengawasan terhadap sektor industri dan pembangkit listrik di Jabodetabek dilakukan.
Namun intervensi kebijakan pemerintah tersebut dinilai Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Tabrani tak akan efektif bila tak fokus pada penanggulangan PLTU yang menggunakan tenaga batu bara. PBHI merupakan salah satu lembaga yang pernah ikut dalam citizen law suit menggugat pemerintah atas udara kotor Jakarta beberapa tahun lalu dan menang di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Namun Presiden Jokowi masih melakukan kasasi.
"Di level pembatasan dampak industri juga ternyata tidak ada penindakan dan (sanksi) sifatnya administrasi. Sekarang akibat industri ekstraktif industri yang menggunakan ekstraktif batu bara pada 2013-2014 ada proyek strategis nasional PLTU batu bara terbesar di Asia Tenggara. Kami sudah katakan bahaya kalau (PLTU) yang gede dibangun maka yang kecil ikut-ikutan. Ini yang terjadi di Jakarta mereka gunakan batu bara karena lebih murah dari listrik akhirnya udara semakin kotor dan hancur," kata Julius Tabrani ketika berbicara dengan Bloomberg Technoz pada Kamis (31/8/2023).
Yang juga dia sesalkan adalah pemerintah tak membuka terang penyebab dominan polusi udara ini agar solusinya lebih efektif. Kebijakan jangka pendek diprediksi akan tumpul dalam menangani polusi. Pemerintah dengan berbagai langkah yang tampak masif dan reaktif kini baik KLHK, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan dan berbagai instansi lainnya dianggap hanya melakukan kebijakan gimik agar seolah-olah bekerja. Padahal selama ini abai bahkan tak menyusun regulasi ketat yang memastikan kualitas udara bersih. Apalagi saat ini dibentuk Satgas Polusi Udara.
"Sampai detik ini pemerintahan Presiden Jokowi tipikal respons gimik responsnya heboh supaya terlihat tegas beringas dan bernas padahal tidak ada langkah yang substantif misal berapa pabrik dan seberapa besar polusi yang dihasilkan enggak disebutin. Ditindak satu dua apakah mengurangi polusi udara? Kan dia enggak hitung berapa banyak pabriknya dan berapa besar polusinya," kata dia lagi.
Oleh karena PBHI meminta agar setidaknya ada moratorium langsung untuk industri yang menggunakan PLTU karena PLTU kata dia adalah penyumbang terbesar polutan udara kotor.
"Dan ada enggak jaminan yang ditutup enggak buka lagi. Coba datang aja ke PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) perizinan yang gunakan bahan batu bara masih bisa enggak? Masih. Daftarin pabrik masih bisa kok," kata dia.
Sementara pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, dari segi kebijakan baik undang undang, peraturan pemerintah hingga berbagai bentuk regulasi tentang lingkungan sebenarnya sudah ada. Sayangnya pengawasan yang seharusnya menjadi tugas pemerintah tak dilakukan dengan baik. Alhasil regulasi itu jadi nirguna bagai tak ada peraturan saja.
"Ada (UU dan peraturan) cuma tidak dijalankan dan tidak dihukum yang melanggar aturan itu ya jadi lepas saja. Padahal implementasinya harus diawasi dengan hukum. Kalau gitu enggak usah dibuat aturan karena memang enggak niat sih," kata Agus melalui sambungan telepon pada Jumat (1/8/2023).
Namun kata dia secara bijak tak bisa dipukul rata bahwa penyebabnya hanya di PLTU. Menurut pengamat tersebut, memberhentikan PLTU dengan segera juga tak bisa dilakukan karena akan memengaruhi aktivitas hidup masyarakat termasuk bisa mengganggu pasokan listrik. Oleh karena itu seharusnya pemerintah sejak awal melakukan pengawasan sejak berdirinya industri. Sayangnya tidak dilakukan.
"Kasus polusi didiamkan sejak pemerintah dari dulu, itu smelter itu sudah bikin polusi tambah lagi masuk barang-barang bekas (dari luar) dibuang ke sini," ujar pendiri PH&H Public Policy Interest Group tersebut soal kompleksitas permasalan polusi.
Agus juga sempat mengomentari keberadaan Satgas Polusi Udara yang diberi nama Operasional Penanganan Polusi Udara kawasan Jabodetabek yang kini dipimpin oleh Menko Marves Luhut Pandjaitan. Dia berharap satgas ini tidak sekadar dadakan yang juga bisa hilang begitu saja.
"Kalau satgas jalan terus kita lihat tunggu saja, jangan sampai (polusi) sudah tidak dibahas lagi kalau (musim) hujan tiba," tutupnya.
(ezr)