Sebagai perbandingan, Shell Super kini dipatok Rp14.760/liter, sedangkan BP 92 juga naik menjadi Rp13.500/liter dan Revvo 92 yang dikeluarkan Vivo kini dihargai di Rp14.460/liter.
Dengan kenaikan harga BBM baik di SPBU Pertamina maupun swasta untuk jenis yang cukup banyak dikonsumsi masyarakat, dikhawatirkan akan memicu peralihan konsumsi masyarakat menyerbu BBM subsidi Pertalite di mana harganya kini masih bertahan di Rp10.000/liter.
"Kesenjangan harga BBM Pertamax dan Pertalite, juga Pertamax dengan BBM dari SPBU swasta, bisa mendorong konsumen beralih ke bahan bakar bersubsidi. Juga bisa peralihan dari BBM swasta ke Pertamina," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima Jumat (1/9/2023).
Satria menggarisbawahi, untuk saat ini dampaknya mungkin terbatas terhadap Produk Domestik Bruto dan inflasi mengingat Pertamax RON 92 dan BBM kelas atas seperti Pertamax Turbo hanya menyumbang tak sampai 15% dari total penjualan nasional.
Proporsi itu masih jauh dibandingkan RON 90 yaitu Pertalite yang menyumbang penjualan sampai 55%.
"Namun, bila harga minyak dunia terus berlanjut, waspadai potensi tekanan pada Neraca Pembayaran dan APBN pada kuartal keempat, di mana itu bisa mempengaruhi prospek nilai tukar rupiah dan subsidi energi pemerintah," jelas Satria.
Harga minyak dunia jenis Brent telah mencatat kenaikan lebih dari 2% selama Agustus. Sepekan terakhir kenaikannya malah mencapai 5%. Ditambah nilai tukar rupiah yang melemah lebih dari 1%, membuat harga BBM yang dijual SPBU baik BUMN maupun swasta ikut terkerek.
Neraca pembayaran
Kinerja transaksi neraca pembayaran RI pada kuartal II-2023 mencatat defisit US$ 7,4 miliar ketika dua komponen pendukungnya yaitu transaksi berjalan dan transaksi keuangan sama-sama terperosok minus.
Transaksi berjalan mencatat defisit US$ 1,9 miliar atau 0,5% dari PDB, jauh lebih besar ketimbang perkiraan ekonomi yang memperkirakan defisit hanya di angka US$ 200 juta.
Sementara defisit transaksi modal dan finansial lebih besar dengan angka mencapai US$ 5 miliar, setara 1,4% dari PDB setelah kuartal sebelumnya masih surplus US$ 3,7 miliar.
Pada sisa tahun ini, tekanan terhadap neraca pembayaran diperkirakan akan terus membesar. Surplus transaksi berjalan akan semakin menyempit akibat kebutuhan impor yang kian tinggi sementara ekspor minyak sawit mentah CPO dan batu bara stagnan.
Pada saat yang sama, transaksi modal dan finansial akan semakin lebar defisitnya akibat kian sempitnya selisih imbal hasil investasi Indonesia dengan Amerika. Itu akan memicu risiko lebih besar lagi bagi rupiah ke depan.
(rui/ain)