Harga beras kemungkinan masih akan menjadi ancaman dan berpeluang melanjutkan kenaikan di kala negara-negara penghasil utama seperti India memutuskan membatasi ekspor beras ke luar negeri. Pasokan beras global semakin terancam dengan harga acuan beras di Asia telah mendekati level tertinggi dalam hampir 15 tahun terakhir, pada akhir Agustus lalu.
Momok harga beras membayangi tren inflasi domestik yang sejauh ini telah menurun lebih cepat ketimbang perkiraan.
Inflasi Agustus tercatat 3,27%, lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya di 3,08%. Namun, secara bulanan, Agustus mencatat deflasi alias penurunan inflasi sebesar 0,02%, di luar perkiraan mayoritas ekonom yang memperkirakan masih akan inflasi sebesar 0,05% month-to-month.
Ancaman Daya Beli
Mengacu pada hasil Survei Konsumen yang digelar Bank Indonesia terakhir, kelompok pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta menjadi satu-satunya yang mencatat kenaikan porsi pengeluaran dan pada saat yang sama kelompok ini memangkas porsi tabungan mereka.
Kuat dugaan kenaikan pengeluaran untuk konsumsi di kelompok bawah ini adalah akibat tekanan harga makanan pokok dan kebutuhan pangan seperti beras.
Bila pengendalian harga beras masih jalan di tempat dan melanjutkan tren kenaikan, kelompok inilah yang akan paling merasakan dampak besar.
Antisipasi pemerintah dengan menggelontorkan bantuan sosial sebesar Rp10 kilogram bagi lebih dari 22 juta KK mulai bulan ini, diharap bisa sedikit meredam dampak lonjakan harga pangan.
Namun, dengan beras masih menjadi pangan utama mayoritas masyarakat, terbuka juga risiko dampak akan menyebar ke kelompok pengeluaran lebih besar, yaitu kelompok menengah yang notabene mayoritas. Itu dikhawatirkan dapat menciderai kinerja daya beli untuk kebutuhan nonpangan.
Hasil survei yang sama memotret, keyakinan konsumen RI pada Juli menjadi yang terendah dalam 4 bulan terakhir kendati masih berada di zona ekspansi di atas 100.
Sementara indeks ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi 6 bulan ke depan, juga mencatat penurunan dari 137,5 pada Juni menjadi 133,2 di bulan berikutnya. Penurunan itu akibat terkikisnya keyakinan konsumen terhadap prospek penghasilan ke depan.
“Optimisme responden terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan yang lalu menurun dibandingkan bulan sebelumnya, terutama pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 1-2 juta,” ungkap laporan BI.
Demikian juga keyakinan terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan juga menurun terutama di kalangan berpendidikan tinggi/akademi.
BPS melaporkan inflasi inti, yang menjadi salah satu ukuran kekuatan daya beli masyarakat, turun cukup dalam secara tahunan yaitu dari 2,43% pada Juli menjadi 2,18% pada Agustus. Sementara secara bulanan, inflasi inti Agustus tidak beranjak yakni tetap sebesar 0,13% month-to-month.
Di mata ekonom, tekanan dari lonjakan harga beras mungkin masih bisa diimbangi oleh belanja Pemilu 2024 sehingga pertumbuhan ekonomi sampai sisa tahun ini masih 'selamat'. Sementara inflasi akan tetap melanjutkan tren melandai di akhir tahun di kisaran tengah target bank sentral.
"Ada risiko inflasi inti akan semakin turun di bawah 2%, tepatnya 1,8% dengan inflasi IHK tahun ini di kisaran 2,6%-2,7%," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
"Melihat sisa tahun hingga 2024, kami melihat inflasi bisa di bawah titik tengah target BI terkecuali ada kejutan harga bahan bakar minyak dan pangan," kata Tamara M. Henderson, ekonom Bloomberg Economics.
Ekonom senior Bank Mandiri Faisal Rachman melontarkan prediksi tidak jauh berbeda di mana inflasi IHK 2023 diperkirakan akan bertengger di 3%, terutama bila didukung pengelolaan harga pangan dan rantai pasokan secara efektif.
(rui)