Secara keseluruhan, mata uang di pasar negara berkembang di seluruh dunia memang tengah tak berdaya menghadapi keperkasaan dolar Amerika. Indeks MSCI Emerging Market Currency mencatat penurunan 1,52% selama Agustus lalu ketika indeks dolar Amerika menguat hampir 2% pada waktu yang sama.
Arus keluar modal asing
Kepemilikan pemodal asing di instrumen Surat Berharga Negara (SBN) terus tergerus dengan terakhir per 29 Agustus turun ke Rp845,28 triliun. Pada 23 dan 28 Agustus, aksi jual nonresiden mencapai puncak dengan penurunan kepemilikan masing-masing anjlok hingga Rp4,9 triliun dan Rp3,5 triliun sehari.
Modal asing yang mengalir keluar tidak bisa dilepaskan dari kian menyempitnya selisih imbal hasil Amerika dengan Indonesia. Di hari ketika pasar dipaksa menurunkan ekspektasi akan dimulainya siklus pengguntingan bunga the Fed dari kuartal I-2024 menjadi kuartal II-2024, imbal hasil surat utang Amerika langsung mencetak rekor tertinggi setidaknya sejak 2007 silam.
Walau kini sudah kembali melandai, akan tetapi makin naiknya tingkat imbal hasil aset dolar AS akan semakin menurunkan pamor aset emerging market, termasuk Indonesia yang notabene memiliki peringkat kredit lebih rendah.
Meskipun melihat histori beberapa waktu terakhir, terlihat bahwa pergerakan yield surat utang RI tidak sensitif dengan pergerakan imbal hasil US Treasury. Bahkan, hasil studi yang dilakukan Bloomberg mencatat, surat utang terbitan pemerintah RI menjadi satu-satunya obligasi negara di pasar negara berkembang yang tidak memiliki korelasi pergerakan dengan US Treasury, surat utang terbitan pemerintah Amerika Serikat.
Tingkat imbal hasil surat utang RI memiliki korelasi negatif dengan US Treasury. Bloomberg mencatat, secara umum obligasi terbitan negara-negara di pasar emerging market Asia memang memiliki korelasi yang rendah dengan pergerakan UST dengan sensitivitas di bawah 0,2%.
Hasil studi itu menjadi kabar baik bagi pasar obligasi domestik dengan memberikan penguatan bahwa sejauh ini, pergerakan UST bisa lebih sedikit dicemaskan.
Prediksi September
Dalam jangka menengah dan panjang, rupiah maasih berpeluang mengantongi keuntungan terutama apabila sentimen bunga acuan the Fed bergerak ke arah dovish.
"Rupiah akan mendapat keuntungan dari pelemahan dolar AS ketika siklus penurunan bunga the Fed dimulai," kata Stephen Chiu, Chief Asia FX and Rates Strategist dan Chunyu Zhang, Senior Associate Analyst dari Bloomberg Intelligence dalam riset terbaru yang dirilis awal pekan ini (28/8/2023).
Selain itu, masih ada peluang asing akan menambah lagi kepemilikan SBN mereka menyusul sejauh ini persentasenya masih rendah. Potensi arus masuk modal asing akan membesar terutama saat sentimen pemberat dari arah bunga acuan global telah mereda.
Dalam jangka panjang, rupiah berpeluang melesat lebih kuat bila kebijakan terkait nikel mengalami kemajuan, apakah itu berbentuk peningkatan nilai tambah dalam arus pasok nikel ataupun berbentuk pencabutan larangan ekspor.
Kesemua faktor itu, menurut analis, seharusnya sudah memadai untuk menolong rupiah dari beban kekhawatiran defisit transaksi berjalan Indonesia dan penurunan investasi.
Di sisi lain, upaya pembuat kebijakan memberikan bekal penguatan rupiah melalui kebijakan pewajiban penempatan devisa hasil ekspor di dalam negeri mulai bulan lalu, terlihat mulai memberi greget.
Berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz, selama bulan ini hingga 24 Agustus lalu, nilai dolar AS para eksportir yang telah diserap melalui lelang TD Valas DHE oleh Bank Indonesia mencapai US$ 359,5 juta, sekitar Rp 5,5 triliun. Angka itu telah melampaui level tertinggi hasil lelang TD Valas DHE yang terjadi pada April lalu sebesar US$ 343 juta.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, regulasi pewajiban penempatan 30% devisa hasil transaksi ekspor di sistem dalam negeri bisa membawa tambahan nilai cadangan devisa sekitar US$ 8 miliar sampai US$ 9 miliar per bulan mulai Desember nanti.
Pada saat yang sama, pada 15 September nanti, BI akan mulai merilis instrumen baru Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang bertenor pendek dan bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Bagi pelaku pasar, ini adalah kabar baik yang bisa memberi sokongan pada kekuatan rupiah ke depan.
"Langkah BI merilis SRBI kami sambut baik karena itu bisa meminimalkan efek distorsi operasio stabilisasi nilai tukar terhadap pasar obligasi domestik. Sampai SRBI dirilis 15 September nanti, distorsi di pasar obligasi masih akan berlangsung," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, instrumen baru itu akan membuat yield surat utang jangka pendek menjadi lebih menarik bagi pemodal asing. Ujungnya, aliran modal asing akan lebih besar dan membantu penguatan rupiah serta menambah posisi cadangan devisa.
Bagi pemodal asing, instrumen moneter baru itu bisa memberikan tawaran carry trade lebih tinggi dengan durasi risiko lebih kecil. "Rupiah akan reli terbawa ekspektasi kembali naiknya aliran modal asing ke Indonesia," kata Duncan Tan, Currency and Rates Strategist di DBS.
Citigroup menilai, SRBI bisa menjangkau lebih banyak pasar dibandingkan dengan instrumen operasi moneter BI lainnya yang umumnya hanya bisa dijangkau oleh bank lokal. Sementara SRBI bisa dijangkau asing lewat secondary market.
SRBI diterbitkan dengan underlying surat berharga negara yang dimiliki Bank Indonesia di mana nilainya telah mencapai Rp1.361,05 triliun di mana sebanyak Rp460,05 triliun adalah SBN yang digunakan BI untuk keperluan operasi moneter, menurut data Kementerian Keuangan sampai 23 Agustus lalu.
(rui)