“Sering seorang CEO takut melakukan transformasi, karena apa? Mengejar aspirasi jangka panjang, menyelamatkan perusahaan jangka panjang, tapi mengorbankan kinerja perusahaan hari ini. Tetapi sebaliknya kalau terlalu mengejar kinerja hari ini, maka kemudian risiko strategi itu makin terakumulasi, sulit untuk bangkit. Maka ditandai dengan gagalnya sebuah korporasi,” tuturnya.
Oleh karena itu Sunarso menjelaskan ada 4 syarat agar transformasi menjadi sukses. Pertama, harus jelas obyek yang ditransformasikan. BRI sendiri melakukan dua hal fundamental dalam transformasi yaitu digital dan culture sejak 2016 di mana Sunarso terlibat langsung sejak awal transformasi tersebut dilakukan.
Kedua, harus ada pemimpin yang menggerakkan dalam bertransformasi. Sunarso menekankan, dalam hal ini pimpinan tertinggi memegang peranan paling penting. Karena secara langsung mentransformasi dan mengawasi keberhasilan objek yang ditransformasikan tersebut.
“Penelitian menunjukkan bahwa leadership dan culture merupakan hal yang paling sulit ditiru oleh kompetitor. Ini yang menjadi tantangan membangun keunggulan daya saing jangka panjang,” lanjutnya.
Ketiga, seluruh aktivitas dan aspirasi transformasi itu harus di buy-in atau dikehendaki oleh seluruh karyawan. Keempat, transformasi harus menjadi mekanisme kesisteman. Oleh karena itu, transformasi harus ditulis, disusun dalam bentuk blueprint. Kemudian dalam menyusun blueprint transformasi, manajemen memetakan kekuatan dan kelemahan perseroan.
Juga memetakan tantangan yang dihadapi serta peluang yang dimiliki. Setelah itu, barulah manajemen perseroan menyusun visi dan bagaimana serta kapan akan merealisasikannya.Berikutnya adalah merancang struktur organisasi termasuk menyusun bisnis model, hingga mendesain new business model.
Hal itu dilakukan untuk menciptakan efisiensi dan men-create value baru. Di mana menjadi tugas seorang CEO untuk creating value. Dalam hal itulah transformasi digital BRI memiliki dua fungsi yaitu efisiensi dan men-create new business model yang sebelumnya tidak pernah ada sama sekali, sehingga men-create value baru.
“Terakhir yang harus kita desain adalah perilaku kolektif yang efektif untuk mencapai tujuan. Itulah yang kita sebut mendesain culture. Jadi culture di sini adalah agregasi dari perilaku-perilaku individu, mindset individu yang secara kolektif itu adalah sangat efektif untuk mencapai tujuan bersama. Saya kira itu prinsip-prinsip untuk transformasi,” ujarnya menegaskan.
Dengan transformasi tersebut, BRI ingin merealisasikan dua visi besar pada 2025. Pertama adalah Champion of Financial Inclusion dan yang kedua menjadi The Most Valuable Banking Group in South East Asia.
Sementara itu, dalam acara tersebut hadir pula Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara. Dia menekankan bahwa adaptasi atau transformasi harus diperhatikan dan dilakukan dalam menghadapi tantangan yang terus berubah seiring zaman. Menurutnya, “changing atmosphere” memang adalah sesuatu yang selalu ada.
Oleh karena itu sebagai manusia, adaptasi atau transformasi perlu terus dilakukan. Dia mencontohkan, bagaimana pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Mendorong dunia pada krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, dan tentunya krisis kesehatan. Sehingga, pada saat itu, berbagai belahan dunia mengalami ekonomi yang negatif.
“Dan dampak negatifnya besar sekali. Oleh karena itu, kalau kita bicara sebagai korporasi, sebagai perusahaan, baik itu perusahaan besar, menengah, kecil, kita harus bisa beradaptasi terhadap perubahan tersebut,” ucapnya.