Pertama kali diperkenalkan pada Agustus 2016, Pertamax Turbo dikatakan sebagai produk unggulan Pertamina untuk pasar kendaraan bensin dengan teknologi tinggi. Bensin ini disebut meningkatkan kelincahan kendaraan, tenaga mesin, dan memperbaiki kualitas udara.
Mengutip laman resmi Pertamina, Pertamax Turbo dengan RON 98 dan kandungan sulfur di bawah 50 ppm memenuhi standar Euro 4, juga dilengkapi dengan formula Pertatec (Pertamina Technology) dan Ignition Boost Formula.
“Teknologi Pertatec membantu membersihkan mesin dan memastikan mesin bebas karat. Selain itu, makin tinggi angka oktan, makin baik karena ketahanan terhadap kompresi mesin makin tinggi, pembakaran sempurna tidak meninggalkan residu pada ruang bakar sehingga mesin lebih bersih,” papar Pertamina.
Adapun, Ignition Boost merupakan sebuah formula yang dirancang untuk menjaga mesin dari karat, membuat mesin lebih tahan lama, pemakaian bahan bakar yang lebih efisien, juga meningkatkan akselerasi kendaraan.
Pertamax Turbo tidak disubsidi dan dijual dengan banderol harga bervariasi, tergantung pada wilayah atau provinsi masing-masing di rentang Rp14.750—Rp16.250 per liter.
Pertamax Green 95
Sudah diluncurkan secara terbatas beberapa pekan lalu, Pertamax Green 95 merupakan bahan bakar hasil dari pengembangan energi terbarukan berupa bioetanol yang sudah teruji oleh WWFC (Worldwide Fuel Charter).
Dikutip dari laman resmi Pertamina, penggunaan etanol 5% (E5) berbasis tetes tebu dalam Pertamax Green 95 diklaim dapat membuat akselerasi kendaraan lebih responsif dalam mencapai kecepatan maksimal.
Memiliki RON 95 sesuai namanya, Pertamax Green 95 juga diklaim sebagai bahan bakar nabati (BBN) untuk kendaraan bensin pertama di Indonesia, yang aman digunakan untuk seluruh kendaraan –baik roda dua maupun empat– berbasis bensin.
Penggunaan etanol 5% masih dalam spesifikasi WWFC maksimal 10% etanol. Pada tahun depan, bauran etanol dalam Pertamax Green 95 direncanakan meningkat menjadi 8% (E8).
“Spek Pertamax Green 95 atau bensin RON 95 E5 ini sudah diterbitkan melalui SK Dirjen Migas ESDM No. 252/2023,” papar Pertamina dalam keterangannya.
Adapun, rencana lokasi awal penjualan dimulai dari Kota Surabaya di 10 titip SPBU dan 5 titik SPBU di Jakarta. Untuk harga, saat ini Pertamax Green 95 ditetapkan senilai Rp13.500/liter.
Nicke menyebut pangsa pasar dari uji coba Pertamax Green 95 saat ini adalah kalangan masyarakat yang memang memiliki perhatian khusus terhadap energi hijau, seperti kelas profesional muda.
“[Bioetanol] ini meningkatkan RON dari Pertamax dari 92 menjadi 95, dengan mencampur dengan bioenergi. Jadi bagus juga karena bisa menurunkan emisi. Kami sudah mulai melakukan soft launching, responsnya cukup bagus. Oleh karena itu kami confidence. Jadi ini yang kami lakukan, dengan benchmarking yang sesuai dengan kompetitor [bensin] RON 95, tetapi bahan bakar kami green,” tuturnya.
Pertamax Green 92
Ini merupakan rencana BBN terbaru Pertamina, yang diusulkan untuk menggantikan BBM bersubsidi Pertalite pada tahun depan.
Belum banyak yang diutarakan perseroan mengenai Pertamax Green 92, tetapi Nicke menjelaskan ini merupakan bahan bakar bensin yang dicampur dengan bioetanol 7% (E7) untuk mengatrol RON Pertalite dari 90 menjadi 92.
Bahan bakar ini menjadi ‘kontroversi’ lantaran banyak kalangan yang memperdebatkan apakah diluncurkannya Pertamax Green 92 pada 2024 akan menghapus sama sekali BBM bersubsidi Pertalite.
“Kalau Anda ingat dua tahun lalu kami keluarkan program Langit Biru, kami naikkan BBM subsidi [Premium] dari RON 88 menjadi RON 90. Nah, ini kami lanjutkan rencana Langit Biru Tahap 2 di mana BBM subsidi [Pertalite] kami naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena ada aturan KLHK yang menyatakan oktan yang boleh dijual minimal RON 91. Ini sudah pas dari sisi aspek lingkungan bisa menurunkan emisi,” jelas Nicke soal Pertamax Green 92.
Bagaimanapun, dia menegaskan rencana konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 masih berupa kajian internal Pertamina dan belum dibahas secara komprehensif bersama dengan pemerintah.
Pun demikian, dia berharap BBN baru tersebut dapat diloloskan dengan skema subsidi layaknya Pertalite, sehingga dapat dijual dengan banderol harga yang setara atau sekitar Rp10.000/liter.
“Ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya. Kami mengusulkan [Pertamax Green 92] dengan harga yang sama [dengan Pertalite]. [...] Jadi usulannya itu. Namun, kembali lagi, supaya tidak menjadi perdebatan di publik, saya ingin menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari kajian internal kami yang kami usulkan ke pemerintah. Namun, implementasinya, tentu ini menjadi ranah pemerintah untuk memutuskan,” tegasnya.
(wdh)