Sementara itu, indeks harga minyak nabati berada di posisi 140,4, turun 42 poin dari bulan sebelumnya dan hampir 25% lebih rendah dari level tahun lalu. Penyebabnya adalah koreksi harga minyak sawit, kedelai, bunga matahari, dan minyak rapa.
“Harga minyak sawit internasional anjlok 2 bulan beruntun karena penurunan permintaan. Negara-negara importir telah menumpuk stok mereka sejak beberapa bulan lalu,” lanjut laporan FAO.
Kemudian, indeks harga produk turunan susu (dairy) berada di level 136,2, turun 2 poin secara mtm dan berada di posisi terendah dalam setahun terakhir. Penyebabnya adalah penurunan harga mentega dan bubuk susu.
“Harga mentega turun 7 bulan berturut-turut karena penurunan permintaan dan kenaikan pasokan, terutama dari Oseania. Sementara itu, penurunan harga bubuk susu juga disebabkan susutnya permintaan dan peningkatan pasokan dari Selandia Baru,” ungkap laporan FAO.
Di sisi lain, indeks harga daging pada Januari 2023 adalah 113,6, turun tipis 0,1 poin dari bulan sebelumnya dan sudah terkoreksi selama 7 bulan beruntun. Namun, indeks ini masih 1,5 poin di atas posisi tahun lalu.
“Penurunan harga daging unggas dan babi menyebabkan penurunan indeks ini. Harga daging unggas dunia turun karena ekspor melebihi permintaan. Sementara itu, harga daging babi turun karena tingginya pasokan dari Brasil dan Amerika Serikat (AS) di tengah penurunan permintaan di China,” papar laporan FAO.
Terakhir adalah indeks harga gula, yang pada Januari 2023 berada di 115,8. Turun 1,3 poin dari bulan sebelumnya, koreksi pertama setelah kenaikan 2 bulan beruntun.
“Panen yang memadai di Thailand dan cuaca yang kondusif di Brasil membuat pasokan meningkat,” sebut laporan FAO.
Dari laporan tersebut, terlihat jelas bahwa penurunan harga pangan dunia disebabkan oleh penurunan permintaan. Ini terjadi untuk minyak nabati, dairy, daging, hingga gula.
Sepertinya, perlambatan ekonomi dunia makin terlihat, karena konsumsi sudah terpukul. Lonjakan harga pangan akibat perang di Ukraina membuat konsumen pada akhirnya mengibarkan bendera putih; menyerah dan memilih berhemat.
Saat konsumsi melambat, pertumbuhan ekonomi tentu akan terhambat. Tidak heran jika bayang-bayang resesi masih menghantui.
Mengutip riset berjudul Food Shopping Behaviour During the Great Recession yang diterbitkan National Bureau of Economic Research di AS, terlihat bahwa saat kondisi ekonomi sedang sulit, konsumen dipaksa untuk berhemat. Tidak sedikit yang baru berbelanja jika ada potongan harga.
“Bentuk penghematan seperti memanfaatkan kupon, menunggu diskon, dan beralih ke produk generik adalah kecenderungan masyarakat jelang resesi. Rumah tangga bisa berhemat anggaran belanja makanan 2%—4% jika membeli saat diskon, 31%—33% dengan menggunakan kupon, dan 5%—11% jika membeli produk generik,” sebut riset itu.
Rumah tangga akan sangat berhati-hati dengan anggaran ketika menjelang atau saat terjadi resesi. Biasanya nilai penghematan berkisar antara 1,5%—2% dari total pengeluaran.
Ketika resesi 2007—2012, rata-rata pendapatan riil rumah tangga turun hampir 10%, sedangkan kekayaan anjlok 40% pada 2007—2013. Ini menyebabkan pengeluaran untuk makanan turun 8,8% pada 2008—2010 dibandingkan dengan periode 2007—2007.
(aji/wdh)