Meski demikian, Daymas berpendapat masih ada peluang pemerintah dapat menekan inflasi secara terbatas jika mengonversi Pertalite menjadi bahan bakar bauran E7 yang menggunakan bioetanol yang diproduksi di dalam negeri. Walakin, pemerintah tetap harus memperhatikan skala keekonomian Pertamax Green 92.
Dia menambahkan bahwa misi menurunkan emisi melalui penggunaan bahan bakar ramah lingkungan tetap harus diseimbangkan dengan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan, yaitu; people, planet, dan profit (3P).
Sebelumnya, Pertamina mengaku akan menyerahkan kepada pemerintah ihwal keputusan akhir pemberian subsidi terhadap Pertamax Green 92, yang diusulkan sebagai pengganti BBM bersubsidi jenis Pertalite.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan rencana mengonversi Pertalite dengan bauran bioetanol 7% (E7) ternyata masih kajian internal perseroan.
“Belum ada keputusan apa pun dari pemerintah. Tentu ini akan kami putuskan dan bahas lebih lanjut,” tuturnya di kompleks parlemen, Rabu (30/8/2023).
Namun, jika pemerintah menyetujui Pertamax Green 92 menggantikan Pertalite pada 2024, Nicke memastikan harga jualnya akan diregulasi layaknya jenis BBM khusus penugasan (JBKP), yang nilainya tidak dilepaskan ke mekanisme pasar.
“Ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya. Kami mengusulkan [Pertamax Green 92] dengan harga yang sama [dengan Pertalite]. [...] Jadi usulannya itu. Namun, kembali lagi, supaya tidak menjadi perdebatan di publik, saya ingin menjelaskan bahwa ini adalah hasil dari kajian internal kami yang kami usulkan ke pemerintah. Namun, implementasinya, tentu ini menjadi ranah pemerintah untuk memutuskan,” tegasnya.
(wdh)