Berdasarkan pernyataan yang dibacakan di televisi pemerintahan di ibu kota Libreville pada Rabu (30/8/2023) malam, Jenderal Brice Oligui Nguema akan menjabat sebagai presiden transisi Gabon. Junta mengumumkan bahwa mereka akan menentukan jam malam dari senja hingga fajar di negara dengan populasi 2,3 juta orang tersebut. Keputusan ini mendorong warga untuk kembali bekerja pada Kamis.
Penunjukan Nguema terjadi setelah para perwira militer muncul di televisi pemerintahan Gabon pada Rabu dini hari untuk mengumumkan mereka membatalkan pemungutan suara pada 26 Agustus, dan membubarkan lembaga-lembaga negara. Dalam siaran terpisah, perwira-perwira tersebut mengatakan Presiden Bongo berada dalam tahanan rumah bersama keluarga dan dokternya, sementara salah satu putranya ditahan.
Menyusul kabar ini, Obligasi dolar Gabon yang jatuh tempo pada Juni 2025 dan November 2031 menjadi obligasi dengan kinerja terburuk di pasar negara berkembang pada Rabu. Saham grup pertambangan Prancis Eramet SA, produsen minyak dan gas Maurel & Prom SA, dan uniter terdaftar dari TotalEnergies SE, yang semuanya beroperasi di Gabon, merosot dalam perdagangan di Paris.
Gabon merupakan salah satu anggota kecil OPEC. Negara itu memproduksi sekitar 200.000 barel per hari. Gabon memiliki cadangan minyak dan mangan yang melimpah, tetapi belum menciptakan standar hidup yang lebih baik. Menurut Bank Dunia, sekitar sepertiga dari 2,2 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Kudeta ini meningkatkan kekhawatiran tentang potensi penularan kudeta di Afrika. Badan-badan regional, termasuk Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika (Economic Community of African States/ECOWAS), juga semakin tertekan untuk memulihkan pemerintahan sipil di Niger, setelah blok beranggotakan 15 negara itu mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk memaksa junta militer melepaskan kekuasaan.
Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Senin (28/8/2023) memperingatkan bahwa jika blok tersebut tidak memulihkan demokrasi, "semua presiden di kawasan ini pada dasarnya menyadari nasib yang sudah menanti mereka."
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan bahwa AS sedang memantau perkembangan di Gabon dengan cermat. Mereka telah memperhitungkan seluruh personel kedutaan dan pasukan di negara tersebut.
"Kami tetap sangat menentang pengambilalihan militer atau pemindahan kekuasaan yang tidak konstitusional," kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Matthew Miller, dalam sebuah pernyataan. "Kami mendesak pihak yang bertanggung jawab untuk melepaskan dan memastikan keamanan anggota pemerintahan dan keluarga mereka serta menjaga pemerintahan sipil."
Sejak tahun 2020, telah terjadi dua kudeta masing-masing di Burkina Faso dan Mali, serta pengambilalihan militer di Chad, Guinea, Niger, dan Sudan. Charlie Robertson, kepala strategi makro di FIM Partners UK Ltd. di London mengatakan kudeta terbaru ini menyoroti ketidakmampuan Uni Afrika dalam mencegah kudeta.
"Uni Afrika yang tidak efektif telah berdiam diri dan menyaksikan rezim demi rezim tumbang di Afrika dan gagal membalikkan kudeta dalam beberapa tahun terakhir," katanya. "Uni Afrika perlu mengambil tindakan dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi di benua ini, sebelum penyebaran kudeta semakin meluas."
Badan kontinental ini, yang telah menangguhkan Niger dari semua aktivitasnya menyusul kudeta di negara Afrika Barat tersebut, mengatakan bahwa mereka "sangat mengutuk" tindakan militer di Gabon, menurut unggahan di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Presiden Nigeria, Bola Tinubu, yang negaranya merupakan demokrasi terbesar di Afrika, juga menyuarakan kritik tersebut.
"Presiden bekerja sangat erat dan terus berkomunikasi dengan para kepala negara lain di Uni Afrika menuju konsensus komprehensif mengenai langkah-langkah selanjutnya mengenai bagaimana krisis di Gabon akan berkembang dan bagaimana benua ini akan merespons penyebaran otoritarianisme yang kita lihat menyebar di seluruh benua kita," demikian pernyataan kantor Tinubu.
Diketahui, Gabon telah diperintah oleh dua orang selama lebih dari lima dekade.
Bongo pertama kali terpilih menjadi presiden pada 2009. Tepat empat bulan setelah kematian ayahnya, Omar Bongo, yang memegang kekuasaan di negara itu sejak 1967. Dia mendapatkan masa jabatan kedua selama tujuh tahun pada 2016 dalam pemilihan yang paling ketat dalam sejarah negara ini. Akan tetapi, kekerasan serta penjarahan terjadi setelah kemenangannya diumumkan.
Cengkeraman kekuasaan keluarga penguasa ini telah menghadapi sejumlah tekanan dalam beberapa tahun terakhir. Pihak tentara sebelumnya telah melakukan kudeta yang gagal pada tahun 2019, beberapa bulan setelah Bongo mengalami stroke yang membuatnya absen selama hampir setahun.
Prancis telah menjaga hubungan yang kuat dengan Gabon meskipun muncul kekhawatiran tentang demokrasi dan catatan hak asasi manusia di negara itu. Presiden Emmanuel Macron berkunjung ke Bongo pada bulan Maret, yang dianggap sebagai sebuah ekspresi dukungan.
Rekam jejak Prancis dalam mendukung keluarga penguasa, diktator, atau presiden seumur hidup di wilayah tersebut demi stabilitas telah lama menjadi sumber kebencian di negara-negara bekas koloninya. Hal ini menambah sentimen anti-Prancis yang telah dimanfaatkan oleh komplotan kudeta.
--Dengan asistensi dari Moses Mozart Dzawu dan Ruth Olurounbi.
(bbn)