“Selanjutnya, tentu kami harus membangun operasional sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Kalau selanjutnya adalah Jakarta, maka kami harus melengkapi blending capacity TBBM [Terminal Bahan Bakar Minyak] Plumpang. Jadi ini yang sedang kami lakukan sekarang, supaya nanti Jakarta atau Jabodetabek juga memiliki infrastruktur yang siap untuk ini,” kata Nicke.
Atas dasar itu, Nicke mengatakan Pertamina ingin menciptakan pasar bensin bauran bioetanol di dalam negeri dan menarik investor di sektor tersebut. Pada tahun depan, lanjutnya, perseroan akan mulai fokus memproduksi bensin ramah lingkungan dengan skala lebih besar.
Akan tetapi, dia tidak mendetailkan lini masa presisi mengenai produksi massal bensin bauran bioetanol tersebut, termasuk Pertamax Green 92, yang merupakan pengganti produk BBM bersubsidi Pertalite.
“Kalau Anda ingat dua tahun lalu kami keluarkan program Langit Biru, kami naikkan BBM subsidi dari RON 88 menjadi RON 90. Nah, ini kami lanjutkan rencan Langit Biru Tahap 2 di mana BBM subsidi [Pertalite] kami naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena ada aturan KLHK yang menyatakan oktan yang boleh dijual minimal RON 91. Ini sudah pas dari sisi aspek lingkungan bisa menurunkan emisi.”
Dia pun menegaskan pada tahun depan Pertamina akan menjual tiga jenis bensin dengan RON lebih tinggi, yaitu Pertamax Turbo, Pertamax Green 92, dan Pertamax Green 95.
“Pada 2024, mohon dukungannya juga, kami akan mengeluarkan Pertamax Green 92, yaitu Pertalite campur etanol naik oktannya dari 90 ke 92. Jadi tahun depan hanya akan ada 3 produk. Pertamax Green 92 dengan mencampur RON 90 dengan 7% etanol, Pertamax Green 95 mencampur Pertamax dengan etanol 8%, dan Pertamax Turbo. Jadi ada dua gasoline, green energy yang akan menjadi produk Pertamina,” paparnya.
Secara bertahap, lanjut Nicke, permintaan pasar untuk bahan bakar tersebut akan terus dipacu pada 2025 agar investasi bioenergi dapat ditingkatkan, sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengalokasikan lahan 700.000 hektare (ha) demi swasembada gula dan etanol.
“Dari situ kami berharap penambahan suplai 1,2 juta kl untuk pencampuran dari gasoline dan ini semua kita perlu beberapa support. Pertama, pembebasan bea cukai. Kedua, investasi bioetanol di dalam negeri,” katanya.
Untuk diketahui, standar emisi Euro 4 diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.
Adapun, spesifikasi BBM dengan standar Euro 4 adalah memiliki oktan minimal 91, bebas timbal, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Meski mendekati standar tersebut, Pertamax dikatakan belum sesuai lantaran kandungan sulfurnya masih 500 ppm. Adapun, jenis BBM Pertamina saat ini yang diklaim sudah sesuai standar tersebut adalah Pertamax Turbo.
(wdh)