Pengusaha logistik dagang-el merasa selama ini impor barang dengan harga di bawah US$100 telah melalui jalur resmi dan membayar pajak. Jadi tidak ada alasan dilakukan pembatasan.
“Pelarangan importasi secara cross border adalah jalur resmi karena semuanya membayar pajak, sedangkan yang membunuh UMKM adalah barang-barang impor yang masuk secara tidak resmi melalui laut, lalu dijual di platform lokal,” papar dia.
Terkait dengan layanan pasar perdagangan daring lintas batas atau cross border commerce yang diduga masih terjadi di Shopee dan TikTok, Sonny menjelaskan tidak mungkin menerapkan predatory pricing atau persaingan usaha tak sehat—salah satunya ‘membunuh’ kompetitor dengan berbagai cara.
“Tidak mungkin dilakukan melalui cross border karena diangkut melalui udara dengan cost [biaya pengiriman] US$ 6—US$8/kg, plus pajak. Sementara itu, importasi melalui laut, cost [biaya] logistiknya sangat murah, per kontainer hanya US$500,'' kata Sony.
“Tidak mungkin dengan proses importasi yang legal karena barang-barang e-commerce jenisnya terlalu beragam untuk importasi,” papar dia.
Pemerintah seharusnya bisa mengawasi peredaran barang-barang murah yang ada di platform lokal. Bukan justru merevisi kebijakan impor perdagangan lintas yang sudah dilakukan secara resmi via jalur udara. Menurut Sonny, barang-barang inilah yang menerapkan predatory pricing.
Sonny memberi saran jika pemerintah bermaksud ingin melindunga keberlangsungan UMKM, tetapi tidak dengan revisi Permendag 50 lewat pembatasan impor barang bernilai US$100. Cukup dengan menaikkan pajak impor pada perdagangan lintas batas menjadi 10% dari posisi saat ini 7,5%.
Hal ini juga perlu diimbang dengan mekanisme kontrol ketat dan patroli barang-barang impor di platform dagang-el lokal. “Dengan cara meminta platform melampirkan bukti impor ke setiap seller atau penjual yang menjual barang impor,” tegas dia.
Permendag yang mengatur Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik ramai dibahas usai adanya protes dari Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki.
Dia menganggap Indonesia telah dibanjiri barang impor murah dan telah mematikan pelaku UMKM dan telah mengusulkan revisi aturan lebih ketat. Namun kewenangan ini berada di Kementerian Perdagangan. Selanjutnya Kemenkop UKM sebagai inisiator mendorong Mendag Zulkifli Hasan untuk segera merampungkan Permendag 50 karena telah dibahas lama.
Teten juga menyinggung pelaku UMKM dirugikan oleh strategi pengelola platform e-commerce ataupun social commerce yang diduga menjalankan praktik ketidaksetaraan pasar. Teten membidik dugaan TikTok menjalankan Project S dari media sosial TikTok Shop, dan merugikan keberlangsungan bisnis pelaku UMKM.
Project S lazimnya adalah merangkum data produk yang paling banyak dibeli pada sebuah negara untuk kemudian diproduksi ulang di China dan kembali dikirim dan dijual dengan harga lebih murah. Ini yang dapat mematikan pelaku UMKM.
“Kalau langsung begitu [dugaan Project S] tak mungkin kita bisa bersaing,” papar Teten, meski hal tersebut telah dibantah oleh TikTok.
Selanjutnya Teten mendorong Permendag PPMSE segera berlaku, meski kini diketahui masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Tujuan revisi adalah menjadikan persaingan bisnis dari pelaku UMKM dan barang impor, fair.
“Ini sudah kelamaan, makanya kita terus hubungi Kemendag, karena janjinya sih cepat, padahal poin-poin sudah ada, jangan terus diharmonisasi,” ungkap Teten dalam konferensi pers, bulan lalu.
Salah satu usulan Teten agar produk impor yang dijual lewat e-commerce tidak 'membunuh' barang-barang lokal adalah menambah bea masuk untuk produk-produk jadi asal luar negeri. Teten menegaskan ini berlaku secara umum ke seluruh platform jual beli daring yang diduga menetapkan harga yang tidak masuk akal atas produk mereka atau predatory pricing.
Produk impor dari luar yang datang ke Indonesia pun, kata dia, mesti datang melalui pelabuhan paling jauh di Indonesia seperti Sorong, Papua Barat. Dengan demikian, produk yang masuk dikenakan ongkos lagi dari tempat terjauh, dengan begitu produk di dalam negeri masih bisa kompetitif.
“Karena selama ini muatan hanya dari barang, sehingga biaya logistik selalu dikenakan untuk produk-produk yang dijual di Indonesia Timur, sehingga Indonesia Timur lemah,” katanya.
(wep/wdh)