Obligasi dolar Gabon yang jatuh tempo pada Juni 2025 dan November 2031 menjadi yang berkinerja paling buruk di pasar negara berkembang pada hari Rabu. Obligasi 2025 turun 11,54 sen menjadi 81,76 sen terhadap dolar pada pukul 8:16 pagi di London.
Saham dari grup pertambangan Prancis Eramet SA, produsen minyak dan gas Maurel & Prom SA, dan unit terdaftar dari TotalEnergies SE, yang semuanya memiliki operasi di Gabon, anjlok dalam perdagangan di Paris.
Kondisi di Gabon berbeda. Negara produsen minyak ini belum harus menghadapi serangan jihadis atau ketidakamanan yang meluas. Namun, cengkeraman keluarga penguasa terhadap kekuasaan di negara itu telah mendapatkan tekanan dalam beberapa tahun terakhir.
Pihak tentara sebelumnya telah melakukan kudeta yang gagal pada tahun 2019, beberapa bulan setelah Bongo mengalami stroke yang membuatnya absen selama hampir setahun.
Prancis telah menjaga hubungan yang kuat dengan Gabon meskipun muncul kekhawatiran tentang demokrasi dan catatan hak asasi manusia di negara itu. Presiden Emmanuel Macron berkunjung ke Bongo pada bulan Maret, yang dianggap sebagai sebuah ekspresi dukungan.
Rekam jejak Prancis dalam mendukung keluarga penguasa, diktator, atau presiden seumur hidup di wilayah tersebut demi stabilitas telah lama menjadi sumber kebencian di negara-negara bekas koloninya. Hal ini menambah sentimen anti-Prancis yang telah dimanfaatkan oleh komplotan kudeta.
Kudeta ini meningkatkan kekhawatiran tentang potensi penularan kudeta di Afrika. Badan-badan regional, termasuk Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika (Economic Community of African States/ECOWAS), juga semakin tertekan untuk memulihkan pemerintahan sipil di Niger, setelah blok beranggotakan 15 negara itu mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk memaksa junta militer melepaskan kekuasaan.
Pada Senin (28/8/2023) Macron memperingatkan bahwa jika blok tersebut tidak memulihkan demokrasi, "semua presiden di kawasan ini pada dasarnya menyadari nasib yang sudah menanti mereka."
Gabon merupakan salah satu anggota kecil OPEC. Negara itu memproduksi sekitar 200.000 barel per hari. Gabon memiliki cadangan minyak dan mangan yang melimpah, tetapi belum menciptakan standar hidup yang lebih baik. Menurut Bank Dunia, sekitar sepertiga dari 2,2 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Bongo, yang keberadaannya tidak diketahui, pertama kali terpilih menjadi presiden pada 2009. Tepat empat bulan setelah kematian ayahnya, Omar Bongo, yang memegang kekuasaan di negara itu sejak 1967. Dia mendapatkan masa jabatan kedua selama tujuh tahun pada 2016 dalam pemilihan yang paling ketat dalam sejarah negara ini. Akan tetapi, kekerasan serta penjarahan terjadi setelah kemenangannya diumumkan.
Menurut AFP, kudeta ini diumumkan beberapa jam setelah Bongo diumumkan sebagai pemenang pemilu dengan 64,3% suara.
Kekhawatiran akan terulangnya kerusuhan semakin meningkat. Sementara kedutaan besar Amerika Serikat di ibu kota Libreville memperingatkan "kemungkinan protes di seluruh wilayah Gabon menjelang dan sesudah" pemungutan suara.
Kementerian Lua Negeri Inggris juga memperbaharui peringatan perjalanan menuju negara tersebut, dan mengingatkan warga negaranya untuk tetap berada di dalam rumah.
"Jaringan kedutaan besar kami di kawasan ini akan memantau dengan cermat apa yang perlu kami lakukan dan apa yang kami mampu lakukan," Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly mengatakan kepada Bloomberg dalam wawancara pada hari Rabu selama kunjungan ke Beijing.
Upaya Bongo untuk mendapatkan masa jabatan ketiga datang beberapa bulan setelah konstitusi Gabon diubah untuk memungkinkan presiden terpilih dalam satu putaran. Sistem baru ini juga mengharuskan pemilih untuk memilih pemimpin dan anggota parlemen pilihannya dari partai yang sama.
--Dengan asistensi dari Helen Nyambura, Colum Murphy dan Kitty Donaldson.
(bbn)