“Kalau kita kembangkan bioenergi, maka dari sisi perkebunan ini harus ditingkatkan juga. Artinya apa? Bisa menyerap tenaga kerja yang banyak. Karena kita sangat concern, setiap orang mengatakan, transisi energi, no one left behind. Ini tidak mungkin kalau tidak kita rencanakan dari hulu ke hilir. Maka, untuk Indonesia sebagai negara agraris, yang punya tenaga kerja 283 juta orang, mendorong bioenergi ini akan menyerap tenaga kerja yang banyak, sekaligus bisa menurunkan impor BBM,” terang Nicke.
Pemilihan Bioetanol
Terkait dengan produksi bensin bauran bioetanol, Nicke mengatakan bahan bakar nabati (BBN) tersebut adalah yang paling masuk akal dikembangkan di dalam negeri. Salah satu anak usaha PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dikatakan dapat memproduksinya dengan kapasitas 30.000 ton per tahun.
“Lalu, kita gunakan apa yang ada untuk mencampur dan menghasilkan Pertamax Green 95. [Untuk saat ini] bisanya hanya di 17 SPBU di Surabaya dan Jakarta. Kita mulai dahulu, dengan apa yang ada, dengan infrastruktur yang ada,” ujarnya.
Adapun, Nicke menyebut pangsa pasar dari uji coba Pertamax Green 95 adalah kalangan masyarakat yang memang memiliki perhatian khusus terhadap energi hijau, seperti kelas profesional muda.
“[Bioetanol] ini meningkatkan RON dari Pertamax dari 92 menjadi 95, dengan mencampur dengan bioenergi. Jadi bagus juga karena bisa menurunkan emisi. Kami sudah mulai melakukan soft launching, responsnya cukup bagus. Oleh karena itu kami confidence. Jadi ini yang kami lakukan, dengan benchmarking yang sesuai dengan kompetitor [bensin] RON 95, tetapi bahan bakar kami green.”
Untuk saat ini suplai bioetanol untuk bauran BBM Pertamina masih didatangkan dari Jawa Timur, meski tidak disebutkan volumenya. Adapun, bauran tersebut dikirim melalui terminal BBM terintegrasi di Surabaya langsung ke Jakarta.
“Selanjutnya, tentu kami harus membangun operasional sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Kalau selanjutnya adalah Jakarta, maka kami harus melengkapi blending capacity TBBM Plumpang. Jadi ini yang sedang kami lakukan sekarang, supaya nanti Jakarta atau Jabodetabek juga memiliki infrastruktur yang siap untuk ini,” kata Nicke.
Minta Pembebasan Cukai
Lebih lanjut, Nicke mengutarakan produksi bensin bauran bioetanol Pertamina saat ini bukan ditujukan untuk mencari untung. Sebab, komoditas etanol masih dikenai cukai Rp20.000/liter lantaran dianggap sebagai produk alkohol.
“Jadi kami minta pembebasan cukai supaya kita bisa dorong karena manfaatnya sangat besar. Kita melihat dari sisi regulasi sebenarnya sudah ada. Mandatorinya itu dimulai dari 2015 dengan E2 [bauran etanol 2%], pada 2016 secara aturan harusnya naik jadi E5, lalu 2020 menjadi E10, dan secara gradual meningkat sampai 2025 itu E20," ujarnya.
2024 Tak Ada Lagi Pertalite
Atas dasar itu, Nicke mengatakan Pertamina ingin menciptakan pasar bensin bauran bioetanol di dalam negeri dan menarik investor di sektor tersebut. Pada tahun depan, lanjutnya, perseroan akan mulai fokus memproduksi bensin ramah lingkungan dengan skala lebih besar.
Akan tetapi, dia tidak mendetailkan lini masa presisi mengenai produksi massal bensin bauran bioetanol tersebut, termasuk Pertamax Green 92 yang merupakan pengganti produk Pertalite.
“Kalau Anda ingat dua tahun lalu kami keluarkan program Langit Biru, kami naikkan BBM subsidi dari RON 88 menjadi RON 90. Nah, ini kami lanjutkan rencan Langit Biru Tahap 2 di mana BBM subsidi [Pertalite] kami naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena ada aturan KLHK yang menyatakan oktan yang boleh dijual minimal RON 91. Ini sudah pas dari sisi aspek lingkungan bisa menurunkan emisi.”
Dia pun menegaskan pada tahun depan Pertamina akan menjual tiga jenis bensin dengan RON lebih tinggi, yaitu Pertamax Turbo, Pertamax Green 92, dan Pertamax Green 95.
“Pada 2024, mohon dukungannya juga, kami akan mengeluarkan Pertamax Green 92, yaitu Pertalite campur etanol naik oktannya dari 90 ke 92. Jadi tahun depan hanya akan ada 3 produk. Pertamax Green 92 dengan mencampur RON 90 dengan 7% etanol, Pertamax Green 95 mencampur Pertamax dengan etanol 8%, dan Pertamax Turbo. Jadi ada dua gasoline, green energy yang akan menjadi produk Pertamina,” paparnya.
Secara bertahap, lanjut Nicke, permintaan pasar untuk bahan bakar tersebut akan terus dipacu pada 2025 agar investasi bioenergi dapat ditingkatkan, sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengalokasikan lahan 700.000 hektare (ha) demi swasembada gula dan etanol.
“Dari situ kami berharap penambahan suplai 1,2 juta kl untuk pencampuran dari gasoline dan ini semua kita perlu beberapa support. Pertama, pembebasan bea cukai. Kedua, investasi bioetanol di dalam negeri,” katanya.
Untuk diketahui, standar emisi Euro 4 diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.
Adapun, spesifikasi BBM dengan standar Euro 4 adalah memiliki oktan minimal 91, bebas timbal, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Meski mendekati standar tersebut, Pertamax dikatakan belum sesuai lantaran kandungan sulfurnya masih 500 ppm. Adapun, jenis BBM Pertamina saat ini yang diklaim sudah sesuai standar tersebut adalah Pertamax Turbo.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengakui mayoritas BBM yang diproduksi oleh Pertamina saat ini masih beroktan rendah. Pada akhir 2024, ungkapnya, Pertamina baru akan memproduksi BBM dengan standar Euro 5 dengan RON.
“Sebetulnya begini, arah [BBM] kita tuh belum tinggi [standarnya]. Jadi, kilang kita baru akhir 2024 yang [bisa memproduksi BBM dengan standar] Euro 5. Salah satu kilangnya dikelola Pertamina. Namun, kan tidak bisa cepat. Kalau sekarang ini, ya pakai RON yang sudah ada. Jadi, jangka pendeknya, misalnya BBM diesel ya CN51. Misalnya begitu. Kalau [BBM] yang lain ya RON yang lebih tinggi,” terangnya, Selasa (29/8/2023).
Meski saat ini pemerintah hanya memberikan imbauan kepada masyarakat untuk menggunakan BBM dengan RON lebih tinggi, Tutuka tidak menutup kemungkinan ke depannya imbauan tersebut bisa dibakukan menjadi aturan jika kilang-kilang di Indonesia sudah bisa memproduksi BBM standar tinggi; setidaknya untuk memenuhi kebutuhan di Jakarta.
(wdh)