Logo Bloomberg Technoz

Permasalahannya, RON Pertamax hanya 92 dan dinilai berbagai kalangan belum memenuhi standar Euro 4. Dengan demikian, memacu penggunaan Pertamax sekalipun, dianggap tidak akan efektif membenahi kualitas udara.

Standar emisi Euro 4 diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.

Adapun, spesifikasi BBM dengan standar Euro 4 adalah memiliki oktan minimal 91, bebas timbal, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Meski mendekati standar tersebut, Pertamax dikatakan belum sesuai lantaran kandungan sulfurnya masih 500 ppm. Adapun, jenis BBM Pertamina yang diklaim sudah seusai standar tersebut adalah Pertamax Turbo.

Oktan Tinggi Akhir 2024

Mengenai hal tersebut, Tutuka mengakui mayoritas BBM yang diproduksi oleh PT Pertamina (Persero) masih beroktan rendah. Pada akhir 2024, Pertamina baru akan memproduksi BBM dengan standar Euro 5 dengan RON.

“Sebetulnya begini, arah [BBM] kita tuh belum tinggi [standarnya]. Jadi, kilang kita baru akhir 2024 yang [bisa memproduksi BBM dengan standar] Euro 5. Salah satu kilangnya dikelola Pertamina. Namun, kan tidak bisa cepat. Kalau sekarang ini, ya pakai RON yang sudah ada. Jadi, jangka pendeknya, misalnya BBM diesel ya CN51. Misalnya begitu. Kalau [BBM] yang lain ya RON yang lebih tinggi,”  terangnya. 

Ilustrasi pengisian BBM Pertamina. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Meski saat ini pemerintah hanya memberikan imbauan kepada masyarakat untuk menggunakan BBM dengan RON lebih tinggi, Tutuka tidak menutup kemungkinan ke depannya imbauan tersebut bisa dibakukan menjadi aturan jika kilang-kilang di Indonesia sudah bisa memproduksi BBM standar tinggi; setidaknya untuk memenuhi kebutuhan di Jakarta.

Terkait dengan revisi Peraturan Presiden No. 191/2014 yang diharapkan dapat membatasi konsumsi Pertalite, Tutuka mengatakan sampai saat ini pembahasan revisi masih belum tuntas. Hal tersebut juga menjadi alasan pembatasan Pertalite tidak bisa bersifat memaksa.

“Kita belum bisa. Kita imbauan saja. Namun, apakah [solusi] polusi udara disebabkan karena emisi bahan bakar minyak atau yang lain? Kalau sekarang, yang saya dengar malah karena faktor lain,” tutur Tutuka.

Sekadar catatan,  Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 mengatur tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak belum diterbitkan.

Pakar energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan wacana membatasi Pertalite untuk mengurangi penggunaan BBM oktan rendah tidak dapat dilakukan serta-merta tanpa ada revisi perpres tersebut.

“Kalau diwacanakan menggunakan MyPertamina atau aplikasi yang lain, tidak tepat itu. Justru membingungkan bagi konsumen di SPBU. Kalau memang mau ada pembatasan, caranya sangat mudah; diatur saja dalam revisi perpres itu tadi,” tuturnya, Selasa (29/8/2023).

Lebih lanjut, dia memperingatkan wacana memacu penggunaan Pertamax sebagai solusi jangka pendek masalah polusi Jakarta juga bakal tidak efektif.

“Sementara tujuan penggunaan BBM yang ramah lingkungan itu tidak bisa tercapai. Pertamax masih termasuk energi kotor yang tidak sesuai dengan standar Euro 4. Jadi, menurut saya, sebaiknya rencana itu dibatalkan saja. Tidak perlu,” tegasnya. 

(wdh)

No more pages