Logo Bloomberg Technoz

Said menyebutkan, target penghapusan kemiskinan ekstrem dipastikan tidak akan tercapai. Oleh karena itu ia berharap pemerintah perlu membuat landasan epistemologis untuk acuan PPP yang akurat dalam membaca situasi ekonomi Indonesia terkini sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan sosial.

Kedua, Said mengingatkan bahwa pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting pada 2024 depan menjadi 14% dari pencapaian 2022 mencapai 21,6%. Sementara target tahun ini ke level 17,5%. Menurut dia, agenda besar yang harus bisa diciptakan adalah perlunya mengubah perilaku masyarakat melalui program kerja kementerian/lembaga (K/L) dan pemda secara konvergen. 

“Kita lihat selama ini pola kerja antar K/L dan pemda masih muncul ego sektoral, sehingga keseluruhan program K/L tidak manampaknya arsitektural kebijakan secara utuh,” kata Said lagi.

Hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah kebijakan mengalokasikan anggaran wajib bidang pendidikan karena semenjak diluncurkan 2003 belum berdampak secara signifikan. Oleh sebab itu perlu ada perhatian bersama. Besarnya alokasi anggaran pendidikan juga belum mencerminkan besarnya alokasi anggaran terhadap mutu dan kualitas pendidikan yang dihasilkan sampai saat ini.

Berdasarkan skor Program for Internasional Student Assessment (PISA) Indonesia juga masih di bawah rata-rata OECD dan ASEAN-5. Hal ini selaras dari Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan peers. Selain itu, tingkat pengangguran lulusan pendidikan Vokasi cukup tinggi. Tingkat partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan Perguruan Tinggi juga masih rendah.  

“Dengan sedih saya katakan, penduduk yang bekerja sebanyak 39,1%. Lulusan SD dan SMP 18,24%. Artinya sebanyak 57,34 penduduk Indonesia yang bekerja merupakan lulusan SMP ke bawah,” ungkapnya.

Said menilai momentum bonus demografi tidak ada artinya karena sejak 2012 Indonesia tidak mendapatkan mayoritas tenaga kerja terampil yang mampu mengakselerasi inovasi bagi UMKM dan industri. Padahal sumbangan UMKM terhadap PDB mencapai 60,5%.

Isu keempat, Said menyebut pada RUU APBN 2024, pemerintah mengalokasikan rencana anggaran infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 422,7 triliun atau 12,79% dari belanja negara. Selain untuk memastikan keberlangsungan pembangunan IKN, alokasi belanja infrastruktur juga harus bisa meningkatkan tingkat partisipasi sekolah dan angka harapan hidup rakyat.

Pembangunan infrastruktur lanjut Said, harus lebih fokus pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi, bukan menjadi beban ekonomi. Pemerintah harus fokus pada target pada cetak biru kebijakan logistik nasional. 

“Kebijakan ini mencanangkan pada tahun 2025 rasio biaya logistik dengan PDB sebesar 12,4%. Target ini cukup realistis mengingat di Amerika Serikat 8% dan Korea Selatan 9,7% PDB,” ujarnya.

Isu kelima terkait hilirisasi. Badan Anggaran DPR sepenuhnya mendukung perluasan kebijakan hilirisasi. Namun pemerintah perlu menempuh sejumlah kebijakan penting yakni harus bisa memaksimalkan ruang pada Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Diketahui sejak kebijakan hilirisasi makin intensif, Indonesia berada pada keadaan yang bisa menimbulkan perang dagang Uni Eropa, yang berujung saling gugat di WTO. 

Jika tak melunak, hubungan kedua belah pihak akan berujung saling mengeluarkan kebijakan retaliasi yang berpotensi mengganggu market ekspor Indonesia.
 
Kebijakan hilirisasi kata dia seharusnya bukan hanya ditujukan untuk memberikan nilai tambah ekonomi semata. Oleh sebab itu Said menyebut strategic partnership kebijakan hilirisasi harus mengangkat derajat UMKM sebagai bagian rantai produksi karena harus membangkitkan industri nasional, memberikan rasa adil bagi masyarakat lokal serta kelestarian alam.

(mfd/ezr)

No more pages