Sistem IFM terdiri dari 4 pilar, di antaranya pencegahan (prevention), persiapan (preparation), deteksi dini (early detection) dan penanganan cepat (rapid response). Pertama, kata dia, pencegahan dilakukan melalui kerja sama dengan komunitas lokal melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). APP Sinarmas memberikan sosialisasi kepada masyarakat lokal untuk tidak melakukan metode pembakaran saat membuka lahan baru.
Selain sosialisasi, APP Sinarmas juga memberikan pembinaan dan bantuan permodalan sebesar Rp150-Rp200 juta per desa yang disalurkan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Pilar kedua adalah persiapan (preparation). Dalam 8 tahun terakhir, APP telah memperlengkapi lebih dari 2.000 petugas pemadam kebakaran di seluruh area konsesi. Di Riau sendiri jumlahnya mencapai sekitar 900 petugas pemadam kebakaran.
“Terdapat penambahan petugas pemadam kebakaran sebanyak 150 orang tahun ini, tambah dari existing 818. Total sekitar 900 petugas,” ujar Priyo.
Pilar ketiga adalah deteksi dini. APP Sinarmas memiliki dua metode pemantauan, yakni melalui sistem pencitraan termal dan mengamati lapangan melalui menara pemantau dan patroli. Metode ini mengalami peningkatan intensitas menjelang El Nino.
Terakhir, penanganan cepat (rapid response). Tim pemadam kebakaran ditargetkan untuk mencapai titik kebakaran kurang dari 42 menit dan memadamkan atau mengontrol api dalam waktu 2 jam.
Karhutla Riau 2015
Priyo mengatakan, berbagai sistem manajemen api dikembangkan oleh APP Sinarmas pascakebakaran hutan Riau pada 2015. Saat itu, pihaknya belum memiliki sistem terintegrasi untuk mencegah penyebaran dan memadamkan api di Provinsi Riau. Sulit untuk menghindari penyebaran api yang sangat cepat.
Salah satu petugas pemadam kebakaran yang telah bekerja selama 28 tahun, John, menceritakan pengalamannya dalam memadamkan api pada karhutla 2015 di Riau. Selain belum memiliki sistem manajemen api, pemadaman api juga dianggap sulit dilakukan karena tidak ada satu komando khusus yang diberikan kepada semua pihak.
“(Petugas pemadam kebakaran) ada dari Polri, TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi siapa yang ambil komando? Sering terjadi (ada) ratusan orang (di lapangan) tapi apakah ada 1 orang yang memberi komando?” ujar John.
John mengatakan, dibutuhkan setidaknya 1-2 minggu untuk memadamkan api di satu lokasi. Pihaknya harus benar-benar memastikan bahwa api hingga ke lapisan dasar sudah dipadamkan dengan baik karena lahan yang terbakar merupakan lahan gambut. Menurutnya, karhutla di Riau terjadi karena banyak pihak yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan dan lahan.
Hal itu pun dikonfirmasi oleh satu petani sayur bernama Rumita di Desa Pinang Sebatang Barat, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Rumita mengatakan, metode membuka lahan dengan membakar dianggap sebagai metode yang sangat mudah dan praktis untuk dilakukan.
“Kalau dulu, umumnya membakar. Membakar lebih gampang, jadi dibakar sore, besok (lahan sudah) bersih. Cepat tanahnya diolah dan cepat juga ditanami lahannya. Jadi dibedengi (lahan) separuh, separuhnya dibakar lalu besok satu lagi dibakar,” ujar Rumita. .
Namun, Rumita merasa tidak nyaman dengan dampak yang diberikan dari proses pembakaran tersebut, khususnya pascakarhutla di Riau pada 2015. Saat itu, banyak anak-anak yang tidak bisa sekolah, banyak masyarakat mengalami batuk karena asap, dan produksi pertanian atau peternakan terganggu.
(ain)