Logo Bloomberg Technoz

“Kita makin bingung kalau pemerintah mengeluarkan subsidi. Anggarannya besar untuk subsidi Pertamax itu. Selain itu, pengguna Pertamax adalah kalangan menengah-atas, sehingga subsidi ini menjadi tidak tepat sasaran. Pertamax itu tidak boleh diberi subsidi karena penggunanya, istilahnya, orang-orang berduit. Lebih baik anggarannya digunakan untuk pembangunan di daerah-daerah tertinggal,” tutur Ferdy.

Dia pun berpendapat pemerintah bersikap paradoks dengan wacana subsidi Pertamax dan pembatasan Pertalite tersebut. Di satu sisi, negara ingin menghemat beban anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi di sisi lain justru membuat kebijakan yang kontroversial. 

Suasana pengisian BBM di SPBU Pertamina, Jakarta, Rabu (1/3/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)


Selain berisiko membuat APBN kembali membengkak, Ferdy menyebut wacana menyubsidi Pertamax tidak memiliki urgensi jika dihubung-hubungkan dengan misi penurunan emisi karbon dan memperbaiki kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya.

“Penurunan emisi itu tidak boleh dilakukan secara parsial. Harus panjang programnya. Desain kebijakannya pun harus rapi. Kalau pemerintah mau menurunkan emisi di angka 29%,  untuk apa menaikkan subsidi Pertamax? APBN malah bisa jebol. Ini, saya rasa, kebijakan yang salah langkah,” tuturnya. 

Kementerian Keuangan sebelumnya menganggarkan subsidi dengan kompensasi untuk sektor energi sejumlah Rp329,9 triliun pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. 

Dari besaran tersebut, alokasi anggaran subsidi khusus energi dipatok sebesar Rp185,87 triliun. Subsidi ini terbagi untuk belanja subsidi jenis BBM tertentu dan liquified petroleum gas (LPG) tabung 3 kg sebesar Rp110,04 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp75,83 triliun.

Suasana gedung bertingkat yang diselimuti polusi di Jakarta, Senin (12/6/2023).(Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Di sisi lain, Ferdy menggarisbawahi munculnya wacana tersebut juga merupakan refleksi dari karut-marut kebijakan terdahulu, di mana negara melalui Pertamina kerap memcau produksi BBM bersubsidi yang tinggi karbon.

Kesalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun tersebut, sambungnya, tidak bisa dituntaskan dengan proses kebijakan yang begitu cepat dan memindahkan permasalahan ke subsidi Pertamax.

Di sisi lain, Ferdy menilai pemerintah tidak bisa sembarangan membatasi pembelian Pertalite selama revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak belum diterbitkan.

“Perpres itu memang tidak pernah direvisi. Itu bohong besar. Kami pernah diskusi juga supaya perpres itu segera direvisi, supaya BBM [bersubsidi] digunakan oleh orang yang tepat. Ini kan masalahnya di perpres itu kategori subsidinya juga tidak jelas. Sekarang malah ada wacana mau memberikan subsidi BBM untuk orang kaya. Itu bagaimana?”

Kenaikan subsidi bahan bakar fosil di tingkat global./dok. Bloomberg


Untuk diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membatasi penyaluran BBM jenis Pertalite, sebagai buntut dari isu polusi udara yang kian memburuk di DKI Jakarta dan sekitarnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut pembatasan tersebut terutama ditujukan guna menekan emisi karbon. Rencana tersebut, kata dia, kini masih dibahas secara internal.

“Kita lagi bahas lagi lihat secara teknis maupun secar regulasi dan secara keekonomian karena kan berbeda,” kata Dadan di Nusa Dua Bali Convention Centre (NDBCC), Kamis (24/8/2023).

Selain itu, Dadan juga mengatakan saat ini pemerintah juga berencana untuk melakukan subsidi pada BBM jenis Pertamax. “Itu [rencana subsidi Pertamax] termasuk yang sedang dibahas,” ujarnya.

Dadan tidak menampik bahan bakar dengan oktan lebih rendah, seperti Perlalite, sangat berpeluang menyebabkan bertambahnya polusi saat ini. Proses pembakaran BBM tersebut di kendaraan bermotor akan menghasilkan emisi yang berlebih.

Berbeda dengan bahan bakar yang memiliki kadar oktan tinggi, yang dalam pembakarannya akan menghasilkan emisi yang tidak banyak.

Dengan adanya dasar tersebut, Dadan menyampaikan kementerian tidak menutup kemungkinan untuk meningkatkan standar oktan pada bahan bakar yang disalurkan ke masyarakat untuk mengurangi emisi karbon.

“Kalau pembakaran makin bagus, emisinya akan makin sedikit. Jadi, kita lagi liat juga apakah bisa dilakukan upaya untuk peningkatan angka oktan untuk bahan bakar,” ujarnya.

(wdh)

No more pages