Sayangnya, simplifikasi tersebut justru menimbulkan masalah penyalahgunaan, sehingga ke depannnya Kementerian ESDM akan mengacu pada Keputusan Menteri ESDM No. 1806 K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018 dalam melakukan penilaian RKAB pertambangan.
“[Kepmen ESDM No.] 1806 itu bukan hanya 6—9 poin yang kami evaluasi, tetapi sudah 27 poin dan ini lama [prosesnya]. Selama itu tidak nyaman bagi kita untuk ke depannya, daripada bermasalah, kita balik lagi ke aturan [yang lama],” ujarnya.
Wafid mengaku masih mendata berapa jumlah RKAB pertambangan nikel yang telah disetujui oleh kementeriannya. Dia pun memastikan revisi aturan RKAB berdurasi 3 tahun untuk IUP pertambangan akan segera dirampungkan.
“Persentasenya belum jelas, tetapi yang jelas ini ada isu nikel diimpor dari Filipina karena smelter di Indonesia kekurangan bahan. Saya sampaikan bahwa saya mencoba menghitung seluruh RKAB yang sudah kami setujui, berapa input nikel yang dibutuhkan, dan hasilnya masih cukup. Tidak ada kekurangan di sekitar Sulawesi Tenggara. Jadi [bila] terpaksa harus impor, mungkin karena faktor lain,” terangnya.
Kelanjutan Moratorium Smelter
Pada perkembangan lain, Wafid mengatakan rencana moratorium smelter nikel baru yang menggunakan teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) masih terus dimatangkan. Sementara belum ada aturan resmi mengenai pelarangan investasi smelter RKEF, investor masih dibolehkan membangun dengan catatan mempertimbangkan pasok nikel kadar tinggi (saprolite) di dalam negeri.
“Jadi sebenarnya diperlukan koordinasi IUI [izin usaha industri] smelter, dengan [melihat] ketersediaan cadangan. Mestinya seperti itu, jadi tidak langsung diizinkan mendirikan. Dilihat dahulu perizinannya di Kementerian Perindustrian atau BKPM [Badan Koordinasi Penanaman Modal], dilihat kondisi cadangan seperti apa, kita punya berapa. Jangan diberikan [izin] tetapi lifetime, jadi rugi [negara] kalau seperti itu,” terangnya.
Sembari merampungkan rencana pembatasan investasi smelter RKEF, lanjutnya, Kementerian ESDM masih mengupayakan penambahan cadangan nikel di dalam negeri dengan memperbanyak eksplorasi.
“Kami juga terus mengevaluasi investasi yang stand alone ini agar ketersediaan pasokan cukup,” ujar Wafid.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, terdapat 17 perusahaan smelter RKEF baru yang sedang dalam tahap konstruksi. Sementara itu, 6 lainnya masih dalam proses uji kelayakan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Banten, dan Kalimantan Selatan.
Adapun, untuk smelter nikel berbasis high pressure acid leaching (HPAL), saat ini hanya terdapat 3 perusahaan yang beroperasi dengan kapasitas 950.000 ton per tahun, 1 yang melakukan studi kelayakan, dan belum ada yang memulai konstruksi baru.
Smelter RKEF menghasilkan feronikel sebagai bahan baku komoditas besi dan baja nirkarat. Smelter nikel RKEF membutuhkan bijih nikel kadar tinggi sebagai bahan bakunya.
Sebaliknya, untuk keperluan produksi baterai kendaraan listrik, jenis yang dibutuhkan adalah nikel kadar rendah (limonite) yang diproses lewat smelter berteknologi HPAL atau berbasis hidrometalurgi.
(wdh)