Pada Minggu (27/08/2023) diumumkan pula rencana untuk memangkas bea meterai pada transaksi saham dan memperlambat laju penawaran saham publik (IPO).
Namun, upaya sebelumnya yang singkat ini gagal mengangkat pasar, dan dana asing terus menjual pada tingkat rekor seiring dengan kekhawatiran atas perjuangan China dengan harga yang jatuh, pasar properti yang lesu, dan uutang pemerintah daerah yang melonjak. Para analis Wall Street juga menjadi lebih pesimistis dengan Morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. menurunkan target mereka pada saham China dalam minggu lalu.
"Respon kebijakan bank sentral untuk mendukung yuan belum efektif dalam mengubah tren dan tidak akan efektif," kata Kiyong Seong, seorang ahli strategi di Societe Generale SA di Hong Kong.
Sebaliknya, sedikit yang memperkirakan China akan meluncurkan langkah-langkah skala besar kali ini untuk menyelamatkan ekonomi. Hanya 11% responden MLIV Pulse yang mengharapkan pembuat kebijakan akan meluncurkan stimulus "seperti bazoka", dengan mayoritas memprediksi langkah-langkah moderat yang menargetkan industri tertentu.
Meski pemerintah telah mengeluarkan banyak retorika untuk mendukung ekonomi, tindakan spesifik masih terbatas. Selama masa jabatannya, Presiden Xi Jinping berusaha mengakhiri ekspansi yang didorong oleh utang yang ceroboh yang menggambarkan tahun-tahun setelah stimulus 2008 dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat.
"Ini adalah 'bom waktu' untuk dunia," kata Presiden AS Joe Biden tentang masalah ekonomi China. Namun, investor melihat risiko spillover yang terbatas saat ini.
Sekitar 31% responden survei MLIV Pulse mengatakan bahwa Indeks MSCI China perlu turun 20% lagi dalam bulan depan. sementara 33% lainnya mengatakan kerugian saham China tidak akan menyebabkan dampak signifikan secara global.
Demikian pula, 56% responden mengatakan perlambatan ekonomi China tidak akan berdampak signifikan terhadap tindakan bank sentral kunci lainnya seperti The Federal Reserve.
(bbn)