Saat ini, lanjutnya, negara-negara Asean tengah mempelajari lebih lanjut perihal potensi dan cadangan mineral kritis di kawasan. Terlebih, mineral kritis masih belum banyak diketahui pemetaannya serta belum terbangun rantai pasoknya.
“Setelah mengetahui permintaan, kita cari prosesnya, pakainya di mana saja. Nah, [data-data] itu yang kita butuhkan. Ini memang penting karena Asean itu [terdiri dari] negara berkembang. Jadi prioritas kita mungkin belum ke lingkungan atau perubahan iklim. Itu nomor sekian. Yang paling penting adalah pertumbuhan ekonomi dan ketahanan,” terangnya.
Untuk itu, sambungnya, pada saat anggota Asean sedang melakukan transisi energi, penting untuk membuat agar pengembangan industri pertambangan mineral kritis tidak menghambat proses transisi tersebut, tetapi berjalan beriringan.
Zulfikar belum dapat menyebutkan potensi permintaan mineral kritis di Asean, lantaran masih memerlukan perhitungan lebih detail. Namun, dia memastikan pengembangan mineral kritis akan membantu pencapaian target Asean untuk menaikkan produk domestik bruto (PDB) kawasan menjadi tiga kali lipat selama 2030—2050.
Berbeda dengan di tingkat global, sambung Zulfikar, saat ini belum terjadi persaingan sengit untuk mendapatkan mineral kritis di Asean.
“Sampai saat ini tidak ada, kita mendorongnya untuk sinergi. Karena tidak semua negara di Asean itu punya nikel seperti di Indonesia. Nah ini yang yang jadi potensi sebetulnya untuk kerja sama. Thailand itu mereka otomotifnya lumayan maju, kemudian Malaysia juga sama. Nah itu bagaimana caranya kekhususan tiap negara itu bisa dikombinasikan,” ujarnya.
(ibn/wdh)