Sebagai perbandingan, Australia memproduksi 7.000 ton kobalt pada tahun lalu, sedangkan Filipina 5.400 ton. Meskipun demikian, Kongo masih tetap menjadi yang teratas dalam rantai pasok kobalt dunia.
Masih menurut Cobalt Insitute, produksi kobalt global mencapai 198kt pada 2022, dengan kontribusi Kongo sebesar 73% dari total atau sekitar 145 kt. Dari sisi permintaan, terjadi kenaikan yoy sebesar 13% menjadi 187 kt pada 2022.
“Meski begitu, negara-negara dan para produsen EV kian waspada terhadap konflik pekerja di Kongo. Dengan demikian, produsen mobil dunia berupaya mengurangi ketergantungan terhadap Kongo dan mencari sumber alternatif. Dengan demikian, peningkatan produksi di Indonesia bakal berperan penting dalam pasar kobalt global, serta mengubah rantai pasok dalam jangka panjang,” papar BMI.
Bateri Lition-ion
Seiring dengan makin tingginya permintaan kobalt sebagai komponen penting dalam baterai litium-ion yang digunakan EV, kebangkitan Indonesia sebagai produsen kobalt terbesar dunia diyakini akan memacu minat terhadap komoditas logam biru itu dari perusahaan-perusahaan EV yang tengah berebut mencari pasokan.
“Hal ini sejalan dengan tujuan Indonesia untuk menciptakan pusat manufaktur kendaraan listrik dalam negeri. Indonesia sudah menjadi produsen nikel terbesar dan bertujuan untuk menarik lebih banyak investasi dalam produksi baterai dan perakitan kendaraan,” tulis laporan BMI.
Hanya dalam tiga tahun, Jakarta telah menandatangani kesepakatan senilai sekitar US$5 miliar (sekitar Rp76,5 triliun) untuk produksi baterai dan EV, sementara Presiden Joko Widodo secara pribadi telah mencobanya membujuk Elon Musk dari Tesla Inc. untuk berinvestasi.
Cobalt Institute juga mencatat dari hanya 4 proyek EV pada awal 2020, Indonesia kini memiliki 42 proyek pada awal 2023, dan diperkirakan akan lebih banyak lagi proyek pada tahun-tahun mendatang.
“Kami berharap Indonesia akan mendapatkan bagian yang lebih besar di pasar kobalt sebagai pusat produksi kendaraan listrik, menandakan peningkatan produksi yang lebih besar dalam jangka menengah dan panjang. Senada dengan Cobalt Institute yang menyebutkan Indonesia berpotensi meningkatkan produksi kobalt sebanyak 10 kali lipat pada 2030.”
Dominasi China
Pada perkembangan lain, riset tersebut memaparkan pasar kobalt Indonesia akan terus didominasi oleh perusahaan China Daratan, berbanding lurus dengan lonjakan kebutuhan Negeri Panda terhadap mineral logam selain nikel.
Di seluruh rantai pasok kendaraan listrik, terdapat investasi China yang membantu Indonesia menjadi produsen nikel olahan terbesar di dunia. Tren serupa dipercaya juga akan terjadi pada sektor pertambangan kobalt di Tanah Air.
Di Indonesia, terdapat empat proyek smelter nikel dan kobalt berbasis high-pressure acid leach (HPAL) yang akan dimulai pada 2023, berkat hasil kemitraan RI-China melalui PT Lygend, PT Huayue Nickel-Cobalt, dan PT QMB.
Sebagian besar peningkatan kapasitas kobalt di Indonesia disebabkan oleh efisiensi dan keahlian perusahaan China yang menyediakan peralatan dan teknologi.
Selain dari China, investasi asing di bidang ini masih terbatas. Hanya BASF dan Eramet yang mengumumkan proyek yang akan dimulai pada 2026. Perusahaan lain seperti LG Energy Solutions, Volkswagen dan EcoPro juga meluncurkan inisiatif, tetapi masih termasuk dalam kemitraan dengan China.
Sekadar catatan, pada April 2023, Kementerian Investasi juga mengumumkan RI tengah menyiapkan dana khusus dengan raksasa baterai China, Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) untuk mengembangkan lebih lanjut rantai nilai EV di dalam negeri.
EV Ecosystem Fund itu akan menjajaki investasi pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kendaraan listrik di Indonesia, yang sekaligus menambah keuntungan bagi produksi kobalt.
Selanjutnya, padaSeptember tahun lalu, Huayou Cobalt dari China juga mengumumkan rencana untuk mendirikan proyek peleburan nikel dan kobalt kedua di Indonesia senilai US$2,1 miliar.
“Kedekatan Indonesia dengan China akan terus memberikan manfaat bagi Indonesia dalam hal investasi untuk permintaan mineral dan logam Tiongkok. Namun, hal itu meningkatkan dominasi China dalam produksi kobalt Indonesia, yang dapat meningkatkan risiko bagi negara-negara yang mengalami ketegangan diplomatik dengan China,” papar BMI.
Ketidakpastian Regulasi & Isu Lingkungan
Selain dominasi China, tantangan investasi kobalt di Indonesia adalah dari tingginya tingkat ketidakpastian kebijakan pertambangan dan nasionalisme sumber daya di Indonesia. BMI menilai sektor komoditas di Indonesia mempunyai sejarah panjang ketidakstabilan, akibat seringnya keterlibatan pemerintah dan peraturan struktural menghambat operasional.
Indonesia sering melakukan larangan ekspor untuk banyak komoditasnya. Contohnya, larangan ekspor batu bara pada 2020, larangan nikel pada 2014 dan 2020, dan yang terbaru berbagai komoditas seperti bauksit, tembaga dan timah.
“Memang benar, Indeks Risiko/Imbalan Pertambangan mencerminkan pandangan kami, dengan skor intervensi pemerintah hanya 19,7 dari 100 untuk Indonesia, jauh di bawah rata-rata regional sebesar 43,4. Secara keseluruhan, risiko industri di Indonesia berada pada angka 41,5, yang juga berada di bawah risiko regional rata-rata 47,6.”
Tidak hanya itu, isu lingkungan mengenai polusi dan penggundulan hutan menimbulkan ancaman lebih lanjut terhadap produksi kobalt Indonesia. Indonesia dikenal karena standar peraturan lingkungannya yang lemah.
Dalam kasus nikel, surat terbuka dari puluhan lembaga nonpemerintah dikirim ke Elon Musk pada Juli 2022, mendesaknya untuk tidak berinvestasi di Indonesia karena masalah ESG.
Pada 2022, sebuah makalah dari Clark University dan Vienna University of Economics and Business mencatat dari 26 negara yang terkena dampak deforestasi tropis, Indonesia berkontribusi 58,2% dari total deforestasi sepanjang 2000—2019, terutama disebabkan industri untuk ekstraksi mineral.
“Meskipun permasalahan lingkungan hidup mungkin tidak akan menghambat produksi kobalt RI dalam jangka pendek, dalam jangka menengah RI dihadapkan pada tantangan seiring dengan makin tingginya tekanan global untuk menemukan pasok kobalt yang lebih berkelanjutan,” jelas riset tersebut.
(wdh)