Mirza mengelaborasi pengembangan regulasi itu ditujukan untuk menjawab tantangan tingginya biaya dalam pengembangan CCS/CCUS. Biaya paling tinggi untuk penangkapan karbon dioksida (CO2) adalah sekitar 73% dari total biaya operasional.
"Berdasarkan studi ERIA, biaya pengambilannya sekitar US$45,92 [per ton karbon], dan biaya penyimpanan sekitar US$15,93 [per ton karbon]. Penangkapan ini mahal dalam hal biaya," tutur Mirza.
Untuk itu, lanjutnya, diperlukan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan melalui hub CCS dan pengklasteran untuk meningkatkan kelayakan proyek penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia dengan menggunakan fasilitas bersama.
"Kita perlu kolaborasi yang tinggi baik secara government to government, business to business, maupun semua aspek, sehingga kita bisa mewujudkannya CCS/CCUS di Asean.”
Di tempat terpisah, Indonesian CCS Center (ICCSC) juga mendorong Indonesia menjadi pelopor hub penangkapan dan penyimpanan karbon di Kawasan Asia Pasifik.
ICCSC menilai, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk sumber daya karbon yang menjadi potensi besar untuk penerapan teknologi CCS/CCSUS tersebut.
Selain itu, Indonesia juga diberkati dengan lokasi geografis dan geologis yang bagus secara strategis berada di kawasan Asia Pasifik, di mana pertumbuhan ekonominya diproyeksikan makin cepat dalam beberapa dekade mendatang.
"Kita harus terus berkolaborasi sebagai katalisator, menyuarakan dan mendorong percepatan penerapan CCS di Indonesia," ujarnya.
CCS/CCUS sendiri saat ini memainkan peran penting dalam mendukung target produksi migas nasional, pengembangan lapangan gas untuk mendorong transisi energi dan mempercepat pengurangan emisi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.
(ibn/wdh)