Logo Bloomberg Technoz

“Biarkan Citilink tetap fokus di low cost carrier [LCC], Pelita mungkin kembali ke model lama pesawat carter logistik, sedangkan Garuda di pasar domestik rute gemuk atau Asia Timur yang gemuk seperti China dan Jepang. Kalau segmen pasarnya jalan, seharusnya oke oke saja merger ini,” tuturnya.

Ilustrasi Garuda Indonesia dan Citilink. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Tumpang Tindih InJourney

Sekadar catatan, Garuda sebelumnya diproyeksikan bergabung dengan holding BUMN sektor aviasi dan pariwisata; PT Aviasi Pariwisata Indonesia alias Indonesian Journey atau InJourney pada tahun ini.

Anggota eksisting InJourney mencakup PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Hotel Indonesia Natour, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko, dan PT Sarinah.

Pembentukan holding BUMN aviasi dan pariwisata itu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 104/2021 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aviasi Pariwisata Indonesia.

Terkait dengan hal itu, Toto meyakini rencana pembentukan holding BUMN penerbangan di bawah Garuda Indonesia tidak akan tumpang tindih dengan tugas, pokok, dan fungsi InJourney. 

“Maskapai bagian dari InJourney, tetapi maskapai masih dalam konteks Garuda Group bisa menjadi bagian dari InJourney, sehingga InJourney akan lebih kuat karena jaringan layanannya bisa lebih luas,” ujarnya. 

Ilustrasi Pelita Air. (Dok. Pelita Air)

Proses Akuisisi

Terkait dengan proses pembentukan holding maskapai pelat merah, Toto menyebut aksi korporasi yang terlebih dahulu harus diprioritaskan adalah mengakuisisi Pelita Air dari Pertamina Group ke Garuda Group.

“Jadi, kalau rencana pemerintah menggabungkan Pelita ke grup Garuda Indonesia secara entitas, maka sudah selesai. Garuda Group terdiri dari Citilink, Pelita, dan Garuda itu sendiri. Kalau entitas bisnisnya sudah terkonsolidasi dengan baik, baru Garuda Group masuk InJourney. Merger dahulu baru masuk InJourney. Di luar itu, Garuda take over [caplok] Peltia, sehingga lebih cepat [prosesnya],” jelas Toto.

Dia menjelaskan karena Garuda merupakan perusahaan publik, korporasi berkode saham GIAA itu harus mendapatkan persetujuan dari semua pemangku kepentingan untuk bisa melakukan aksi korporasi tersebut. 

Selain persetujuan dari pemerintah, lanjutnya, GIAA juga harus mendapatkan lampu hijau dari pemegang saham seperti CT Group. 

“Perlu ada langkah pendekatan dari pemerintah dan pemegang saham —kepada CT– untuk bisa menyetujui aksi korporasi ini. Make sure tidak ada problem institusional di sisi Garuda-nya sendiri. Kalau itu bisa diselesaikan, akan mudah bagi Garuda untuk merger akuisisi saham Pelita Air,” terangnya. 

Ilustrasi Garuda Indonesia dan Citilink. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga mengatakan sampai saat ini skema merger Garuda Indonesia Group dan Pelita Air masih terus dimatangkan. Belum ada keputusan final terkait dengan struktur entitas hasil peleburan maskapai-maskapai tersebut.

“Apakah nanti di bawah Garuda? Atau nanti masuk ke dalam Citilink? Ini kita belum tahu, masih dikaji. Namun, nanti [holding BUMN penerbangan] akan berada di bawah naungannya Garuda. Begitu,” ujarnya saat dimintai konfirmasi, Kamis (24/8/2023).

Dia menjelaskan upaya merger Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air merupakan bagian dari rencana besar Kementerian BUMN untuk menggabungkan perusahaan-perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor industri yang sama.

“Jadi kami berminat dan berniat untuk menjadikan satu BUMN memegang satu jenis industri. Ini ada [sektor] penerbangan. Ada dua perusahaan, Pelita dan Garuda. Citilink bagian dari Garuda juga. Dengan demikian, kami melihat [ada peluang untuk] dimergerkan,” tuturnya.

(wdh)

No more pages