Ditambah kebutuhan untuk anak yang besar, seperti untuk bayar nanny dan perlengkapan lainnya, Sari memutuskan untuk kembali meminjam uang melalui pinjaman online (Pinjol) legal di tahun 2020 dan mengambil lagi tahun 2021 untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan orangtua.
“Sejak itu saya gali lubang tutup lubang saja. Belum lagi bapak saya yang meskipun sudah kerja sejak Januari 2021 dan gajinya lumayan, tetap suka minta ke saya karena dia poligami dan anak dari istri keduanya belum mandiri. Puncaknya pada Juni 2022 saya merasa stuck dan harus bilang ke suami. Awalnya saya takut karena suami saya orangnya syar’i. Untungnya dia mau ngerti dan mau bantu,” kata Sari.
Sejak saat itu, menurut Sari, sang suami membantu menutupi utang-utangnya dengan mengambil KTA untuk menutup utang kartu kredit. Tapi tidak cukup untuk melunasi semuanya karena utang pinjol dirinya tidak termasuk kartu kredit menyentuh angka Rp 100 juta.
Sari mengaku dimasa kelamnya dirinya sempat menyalahkan ibunya yang menikahi orang yang salah. Yang membuat hidupnya dan keluarga kecilnya harus terlilit utang.
“Lagi-lagi hidup dengan gali lubang tutup lubang, sampe sempet ambil pinjol yang tenor per cicilan cuma 2 minggu. Tapi akhirnya saya bilang ke ibu saya untuk membantu saya melunasi utang-utang tersebut. Untungnya, beliau setuju untuk tutup sebagian. Sekarang masih sisa 3 pinjol yang cicilannya masih berjalan dan bisa saya handle,” ujar Sari.
Psikolog yang juga dosen fakultas psikologi UI, Dian Wisnuwardhani mengatakan perilaku sering menggunakan PayLater dan Pinjol memang bermula dari keluarga.
“Kalau terbiasa dengan sesuatu yang instan, tentunya dia juga akan merasa ‘kenapa harus susah, kalau ada yang lebih mudah?’ toh uangnya ada. Nah itu kan membantuk dia untuk menjadi konsumtif misalnya ‘yaudah kan gue juga punya uang, kenapa harus susah-susah’, atau kalau mau ke mana-mana ‘yaudah tinggal pesen aja dan nanti bayar pake PayLater atau kredit, dibayarnya nanti. Itu dibentuk pertama dari keluarga ,” ujar Dian.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap kelompok yang paling banyak terjerat pinjaman online (pinjol) adalah buruh, korban pemutusan hubungan kerja (PHK), ibu rumah tangga hinga pelajar.
Oleh karena itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi menyatakan OJK akan terus mendorong literasi dan edukasi terkait potensi kejahatan keuangan. Khusunya bagi kelompok yang rentan menjadi korban pinjol ilegal.
(spt)