Sampai 23 Agustus lalu, kepemilikan SBN bank sentral mencapai total Rp1.361,05 triliun di mana sebanyak Rp460,05 merupakan SBN yang digunakan BI untuk keperluan operasi moneter.
SRBI merupakan sekuritisasi SBN yang dimiliki BI sebagai underlying yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder dan dapat dimiliki baik oleh pemodal asing maupun eksportir.
"SRBI pada dasarnya instrumen operasi moneter kontraksi untuk mengelola likuiditas sekaligus diharap bisa mendukung pengembangan pasar uang dan stabilitas nilai tukar rupiah karena bisa ditransaksikan serta dimiliki oleh non-bank baik penduduk maupun bukan penduduk di pasar sekunder," jelas bank sentral.
Instrumen ini akan ditawarkan melalui lelang dengan primary dealer di mana bunga atau rate akan ditentukan berdasarkan variable rate tender. BI akan memulai implementasi instrumen baru ini mulai 15 September nanti. Untuk tahap awal, SRBI akan ditawarkan dalam pilihan tenor 6, 9 dan 12 bulan.
Penerbitan SRBI dilakukan melalui lelang dengan. bank umum sebagai peserta operasi pasar terbuka konvensional dan kemudian bisa diperjualbelikan di pasar sekunder.
SRBI juga dapat digunakan sebagai agunan Pinjaman Likuiditas Jangka pendek (PLJP), juga sebagai surat berharga yang bisa diperhitungkan dalam pemenuhan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).
Kehadiran instrumen baru untuk mendukung penguatan rupiah menjadi ikhtiar terbaru otoritas setelah sebelumnya pemerintah merilis kebijakan pewajiban repatriasi devisa hasil ekspor yang berlaku mulai 1 Agustus lalu.
Bank Indonesia juga secara rutin menggelar operasi moneter lelang term deposit devisa hasil ekspor. Selain itu, ada juga instrumen FX Swap di perbankan, term deposit valas, dan lain sebagainya.
Amunisi Belum Ampuh
Perilisan instrumen baru untuk membantu menarik dana asing lebih banyak masuk ke pasar keuangan RI itu di sisi lain memperlihatkan berbagai amunisi yang sejauh ini telah dimiliki dan dijalankan oleh BI untuk menahan rupiah, nyatanya belum cukup ampuh.
Selama Agustus saja rupiah kehilangan kekuatan hingga 1,41% dan menyisakan penguatan year-to-date hingga 22 Agustus tinggal 1,78%.
Kinerja neraca pembayaran juga terpukul dengan defisit transaksi berjalan yang melampaui perkiraan awal, selain tekanan juga dari defisit transaksi finansial akibat outflow dana asing.
BI mencatat, nilai aliran bersih (net inflows) modal asing ke pasar portofolio domestik semakin kecil di angka US$ 200 juta selama kuartal III (quarter-to-date).
Padahal per 1 Agustus repatriasi valas ekspor sudah mulai berlaku dengan lelang TD Valas DHE sudah dilangsungkan sejak Maret lalu.
Nilai cadangan devisa pada Juli lalu memang mencatat kenaikan kecil. Akan tetapi, muncul dugaan kuat bahwa nilai cadangan devisa kemungkinan jauh lebih tergerus di level rekor bila upaya stabilisasi rupiah tidak dibantu dengan operasi moneter FX Swap yang agresif oleh bank sentral.
Catatan Bahana Sekuritas, operasi moneter melalui instrumen FX Swap yang dilakukan oleh BI sejauh ini telah menyerap sedikitnya US$ 6 miliar, tiga kali lipat dari rekor tertinggi sebelumnya pada Maret 2020.
"Perhitungan kami, tanpa FX Swap, cadangan devisa terkuras hingga US$ 10 miliar dalam tiga bulan terakhir," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima Rabu (23/8/2023).
FFR Bisa Naik 2 Kali Lagi
Perhitungan BI, Federal Reserve -bank sentral Amerika, masih akan menaikkan lagi bunga acuan bukan hanya sekali melainkan ada peluang sampai dua kali lagi mengingat inflasi yang masih tinggi.
"Amerika kami perkirakan masih akan menaikkan Fed Funds Rate, bahkan akan naik 2 kali. Baseline kami 1 kali tetapi risiko potensial bisa 2 kami karena inflasi masih tinggi di AS," kata Perry.
Namun, skenario itu pun tidak membuat BI merasa ada urgensi menaikkan bunga acuan.
Perry lagi-lagi menegaskan, stabilisasi nilai tukar rupiah tidak harus dengan ikut menaikkan suku bunga acuan.
"Jamunya bukan suku bunga, jamunya adalah intervensi di pasar spot maupun Domestic Non-Deliverable Forwards. Itu yang terus kami stabilkan, alhamdulillah pelemahan [rupiah] relatif rendah. Itu cara kita memproteksi ekonomi domestik dari rambatan global," kata Perry.
BI memperkirakan akan ada sumbangan likuiditas dolar AS lebih besar dari penerapan kebijakan devisa hasil ekspor dengan nilai US$ 9,2 miliar per bulan sampai akhir tahun.
Dengan prediksi masih tingginya ketidakpastian global yang berisiko menekan rupiah, akan menjadi pertaruhan baru apakah ikhtiar termutakhir melalui SRBI tersebut akan dapat membantu rupiah bertahan di tengah tekanan dolar AS.
-- dengan bantuan dari Krizia P. Kinanti.
(rui)