Dalam operasi moneter itu, BI juga sekaligus memborong tenor panjang yang berimbas pada penurunan tingkat imbal hasil. Siang ini yield SUN tenor 10 tahun melandai ke 6,566% melanjutkan rebound yang berlangsung sejak kemarin.
Hasil studi yang dilakukan oleh Bloomberg menyebutkan, obligasi negara RI sebagai satu-satunya surat utang di pasar negara berkembang yang tidak memiliki sensitivitas terhadap pergerakan surat utang Amerika, US Treasury.
Tingkat imbal hasil surat utang sejauh ini memiliki korelasi negatif, alias tidak terkait dengan pergerakan yield US Treasury.
Bloomberg mencatat, secara umum obligasi terbitan negara-negara di pasar emerging market Asia memang memiliki korelasi yang rendah dengan pergerakan UST dengan sensitivitas di bawah 0,2%.
Sementara, obligasi negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin mencatat sensitivitas tertinggi sebesar 0,36%. Sedangkan surat utang terbitan negara-negara emerging market di Eropa, Timur Tengah dan Afrika, rata-rata mencatat korelasi sebesar 0,32% terhadap UST.
Hasil studi itu menjadi kabar baik bagi pasar obligasi domestik dengan memberikan penguatan bahwa sejauh ini, pergerakan UST bisa lebih sedikit dicemaskan.
Selain itu, rilis data PMI semalam yang memberi sinyal resesi di Eropa dan berlanjutnya kontraksi di Amerika, memberi penguatan pada pasar obligasi global. Sinyal resesi diharapkan akan mendorong pelonggaran moneter dan mengikis stance hawkish bank sentral di pasar negara maju. Pasar surat utang bagaimanapun tidak menyukai kenaikan bunga acuan.
Twist operation
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada Selasa kemarin menegaskan tidak ada perlunya menaikkan bunga acuan meski Federal Reserve, bank sentral AS, diprediksi kembali mengerek bunga 25 bps di akhir tahun ini dan mungkin baru akan memulai siklus pelonggaran moneter pada kuartal II tahun depan.
BI akan terus mempertahankan kebijakan moneter dengan fokus menjaga stabilitas untuk memitigasi rambatan dampak ketidakpastian global tahun ini dan tahun depan.
Kebijakan moneter akan dijalankan melalui bunga acuan yang dilengkapi dengan upaya menyetabilkan nilai tukar rupiah dan memastikan kecukupan suplai dolar AS di pasar.
Perry juga menegaskan, bank sentral merespons kenaikan bunga acuan the Fed melalui kenaikan tingkat imbal hasil surat utang RI jangka pendek. Dengan begitu, animo pemodal diharapkan masih terjaga dan bisa mengerem tekanan arus modal keluar yang bisa semakin menjatuhkan nilai rupiah.
Di sisi lain, kebijakan makroprudensial akan tetap dijalankan untuk mendukung pertumbuhan kredit perbankan dan pertumbuhan ekonomi.
Perry menegaskan, tidak ada keharusan dan kebutuhan bagi Bank Indonesia untuk mengikuti langkah the Fed yang menaikkan bunga acuan. Pernyataan itu adalah penegasan kesekian kali kepercayaan diri bank sentral akan dapat mengendalikan dampak ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik.
"Yang terpenting bukanlah kebijakan bunga acuan akan tetapi tingkat imbal hasil surat utang negara. Arus masuk modal asing merespons tingkat imbal hasil SUN, makanya kami melakukan twist operation," kata Perry.
(rui)