Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra sebelumnya mengatakan pembahasan rencana merger ketiga maskapai pelat merah itu diharapkan dapat tuntas sebelum akhir tahun ini.
Saat ini, tegasnya, negosiasi masih dalam tahap prematur antara Garuda Group, Pertamina Group selaku pemiliki Pelita Air, dan Kementerian BUMN. Dia menambahkan Garuda pun masih menimbang untung dan rugi rencana merger tersebut.
Bagaimanapun, Irfan tidak menampik terdapat alasan lainnya yang melandasi rencana penggabungan ini selain alasan yang sebelumnya disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir. Salah satunya adalah untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya operasional. Namun, Irfan tidak memerinci perhitungan tersebut lebih lanjut.
“Dua-duanya [ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya] iya, ada yang lainnya juga. Ini kita lengkapi dahulu, saya takut terlalu dini untuk melengkapi hal ini, masih didiskusikan supaya enggak riweuh,” jelasnya.
Di lain sisi, pakar penerbangan sekaligus Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie menjelaskan ketiga maskapai pelat merah tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda, khususnya dalam hal pangsa pasar dan perizinan.
“Saya ulas satu per satu soal perizinan. Sepengetahuan saya, saat ini di Indonesia, setiap perusahaan [maskapai] hanya memiliki satu izin. Jadi, pemahaman saya, kalau merger nanti tidak ada lagi Citilink dan Pelita, yang ada hanya Garuda. Atau Garuda dihapus, jadi hanya Citilink atau Pelita,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (23/8/2023).
Sampai dengan saat ini, terang Alvin, belum dan tidak pernah ada maskapai penerbangan di Indonesia yang bisa memiliki lebih dari satu izin usaha penerbangan yang berbeda. Lion Air Group, yang sudah memiliki holding, sekalipun tetap memiliki izin perusahaan sendiri-sendiri untuk setiap maskapainya.
“Dengan kata lain, kalau Kementerian BUMN menyampaikan akan memerger Garuda, Citillink, dan Pelita; berarti hanya akan ada satu perusahaan. Nah, kalau jadi satu perusahaan, izin mana yang akan dipakai? Mau Garuda yang full service atau Pelita dan Citilink yang low cost carrier [LCC],” ujarnya.
Lebih lanjut, Alvin berpendapat, jika pada akhirnya Garuda, Citilink, dan Pelita Air tetap beroperasi dengan jenama masing-masing; hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai merger.
“Kalau hanya menempatkan Citilink dan Pelita di bawah Garuda, nah Garuda sendiri juga holding. Ada holding di bawah holding. Lantas, apa fungsinya holding [BUMN aviasi dan pariwisata] InJourney selama ini? Berarti tidak efektif kan?”
Sekadar catatan, Garuda sebelumnya diproyeksikan bergabung dengan holding BUMN sektor aviasi dan pariwisata; PT Aviasi Pariwisata Indonesia alias Indonesian Journey atau InJourney pada tahun ini.
InJourney sebelumnya beranggotakan PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Hotel Indonesia Natour, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko, dan PT Sarinah.
Pembentukan holding BUMN aviasi dan pariwisata itu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 104/2021 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aviasi Pariwisata Indonesia.
(wdh)