Bisa jadi ini ada hubungannya dengan data lain. BI juga melaporkan bahwa porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (propensity to consume) turun menjadi 73,6% pada Januari 2023 dibandingkan dengan 75,6% pada bulan sebelumnya.
Penurunan konsumsi disebabkan oleh meningkatnya porsi pendapatan untuk membayar cicilan dan menabung. Keduanya naik masing-masing 0,5 poin persentase dan 1,5 poin persentase.
“Berdasarkan kelompok pengeluaran, rata-rata porsi konsumsi terhadap pendapatan terpantau menurun pada seluruh kategori pengeluaran, terdalam pada responden dengan tingkat pengeluaran kurang dari Rp 5 juta per bulan. Sementara itu, porsi tabungan terhadap pendapatan terindikasi meningkat, tertinggi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 4,1-5 juta per bulan,” sebut laporan BI.
Sepertinya, iklim suku bunga tinggi sudah merasuk ke dapur rumah tangga. Sepanjang 2022, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 225 basis poin (bps) dan bulan lalu BI 7 Day Reverse Repo Rate kembali dikerek 25 bps. Suku bunga acuan kini ada di 5,75%, tertinggi sejak Juni 2019.
Kenaikan suku bunga acuan membuat suku bunga di level perbankan ikut bergerak. Kenaikan biaya dana membuat perbankan menaikkan suku bunga simpanan untuk menarik Dana Pihak Ketiga (DPK).
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga deposito rupiah 12 bulan di bank komersial adalah 3,6% per September 2022, tertinggi sejak Desember 2021. Jadi, tidak salah kalau konsumen meningkatkan alokasi untuk menabung, karena bunga memang sedang tinggi.
Di sisi lain, peningkatan bunga simpanan menyebabkan bunga kredit ikut naik. Untuk level rumah tangga, kenaikan bunga terlihat di Kredit Multiguna.
Per September 2022, rata-rata suku bunga Kredit Multiguna di bank umum bertengger di level 11,71%. Ini menjadi yang tertinggi sejak Mei 2022.
Perlu diingat bahwa konsumsi adalah elemen kunci dalam pertumbuhan ekonomi domestik. Konsumsi menyumbang lebih dari separuh dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat suku bunga meninggi, konsumsi akan tertekan karena rumah tangga ‘tersandera’ oleh kenaikan pembayaran cicilan. Tidak hanya itu, rumah tangga juga akan tergoda untuk lebih banyak menabung. Hasilnya jelas, konsumsi tentu dikurangi.
Ketika konsumsi berkurang, maka pertumbuhan ekonomi akan terancam. Risiko ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.
Sampai-sampai Bank Dunia memberi wanti-wanti bahwa kenaikan suku bunga yang menjadi tren global membuat risiko resesi kian tinggi.
“Seiring bank sentral di berbagai negara yang secara simultan menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, dunia mungkin akan terseret menuju resesi pada 2023,” sebut kajian Bank Dunia.
David Malpass, Presiden Bank Dunia, berpesan bahwa resesi akan sangat memukul masyarakat di negara berkembang dan miskin.
“Untuk mencapai inflasi rendah, stabilitas nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, para pembuat kebijakan perlu mengalihkan fokus dari mengurangi konsumsi menjadi meningkatkan produksi. Kebijakan harus diarahkan untuk menarik investasi dan meningkatkan produktivitas, yang sangat penting dalam upaya pengurangan kemiskinan,” papar Malpass.
(aji)