Logo Bloomberg Technoz


Meski merger diyakini dapat menguntungkan bagi bisnis kedua maskapai yang saat itu mengalami kerugian gabungan senilai US$856 juta, aksi tersebut dinilai tidak menguntungkan bagi penumpang. Seiring dengan makin menyempitnya kompetisi antarmaskapai, risiko terhadap kenaikan harga tiket pun kian besar. 

Dalam sebuah catatan tertulis pada 2010, analis UBS Kevin Crissey memperkirakan megamerger sekaliber United-US Airways akan mengurangi kapasitas kursi penumpang sebesar 3%, sebagian terjadi untuk rute domestik.

“Dengan lebih sedikit kursi dan persaingan, tarif pun akan naik,” tulisnya.

Selain di Washington, kedua maskapai penerbangan tersebut memiliki sedikit tumpang tindih rute dan slot penerbangan. US Airways memiliki 3,1% kapasitas di pasar utama United, tulis Crissey, sedangkan United menguasai 5,3% tarfik di pasar utama US Airways.

Pesawat American Airlines dan United Airlines di Terminal A Bandara Internasional Newark Liberty (EWR)./Bloomberg-Aristide Economopoulos


Pada Agustus 2013, keluhan serupa terjadi lagi. Departemen Kehakiman dan jaksa agung dari enam negara bagian dan District of Columbia (DC) mengajukan gugatan yang menantang merger American Airlines dan US Airways senilai US$11 miliar.

Mereka menuding aksi tersebut akan menyebabkan harga tiket yang lebih tinggi dan layanan yang lebih rendah bagi konsumen.

“Merger American Airlines-US Airways, yang menciptakan maskapai penerbangan terbesar di dunia, akan secara signifikan mengurangi persaingan dalam perjalanan udara komersial,” demikian bantah gugatan yang diajukan di Pengadilan Distrik AS di Washington, dikutip dari CNN internasional.

Kekhawatiran utama adalah pasar penerbangan domestik, kata Departemen Kehakiman. Mereka mengutip preseden di Bandara Nasional Ronald Reagan Washington, di mana maskapai gabungan tersebut akan memonopoli 69% slot lepas landas dan pendaratan, serta 63% rute keluar nonstop.

Departemen Kehakiman juga mengatakan dalam keberatannya, dengan menyatakan bahwa jika kedua maskapai penerbangan diizinkan untuk bergabung, akan ada biaya yang lebih tinggi untuk bagasi dan perubahan jadwal penerbangan.

Negara-negara bagian yang bergabung dalam gugatan antimonopoli itu mencakup Texas, tempat perusahaan induk Amerika, AMR Corp., bermarkas; Arizona, markas US Airways; Florida; Pennsylvania; Tennessee; dan Virginia.

Perbandingan biaya perjalanan maskapai penerbangan. (Dok Bloomberg)

Di sisi lain, American dan US Airways berdalih merger keduanya merupakan “gabungan dua jaringan yang saling melengkapi dengan akses ke destinasi terbaik di seluruh dunia – menawarkan penumpang lebih banyak pilihan, peningkatan efisiensi, dan pilihan yang lebih baik” di bawah aliansi Oneworld Amerika.

Gugatan Departemen Kehakiman mengutip dokumen internal maskapai penerbangan yang menunjukkan bahwa merger sebenarnya tidak diperlukan dan pada kenyataannya akan mengakibatkan pengurangan program promosi yang menguntungkan para pelancong.

Contohnya adalah program diskon Advantage Fares US Airways, yang –menurut para eksekutif– kemungkinan besar akan dihapuskan setelah merger, menurut Departemen Kehakiman. Tanpa merger, kata pejabat antimonopoli, maskapai penerbangan lain akan terpaksa terus memberikan diskon yang sama kepada US Airways untuk bersaing.

Eropa sebelumnya mendukung megamerger tersebut, dengan syarat maskapai tersebut menyerahkan slotnya untuk memungkinkan persaingan baru di rute Philadelphia—London.

Pesawat Citilink bersiap lepas landas di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (26/7/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Kembali pada persoalan wacana merger Garuda, Citilink, dan Pelita Air di dalam negeri. Pakar penerbangan sekaligus Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) Alvin Lie sebelumnya mempertanyakan skema dari “merger” tersebut.

Alvin berpendapat, jika pada akhirnya Garuda, Citilink, dan Pelita Air tetap beroperasi dengan jenama masing-masing; hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai merger.

“Kalau hanya menempatkan Citilink dan Pelita di bawah Garuda, nah Garuda sendiri juga holding. Ada holding di bawah holding. Lantas, apa fungsinya holding In Journey selama ini? Berarti tidak efektif kan?” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Rabu (24/8/2023).

Sampai dengan saat ini, terang Alvin, belum dan tidak pernah ada maskapai penerbangan di Indonesia yang bisa memiliki lebih dari satu izin usaha penerbangan yang berbeda. Lion Air Group, yang sudah memiliki holding, sekalipun tetap memiliki izin perusahaan sendiri-sendiri untuk setiap maskapainya.

“Dengan kata lain, kalau Kementerian BUMN menyampaikan akan memerger Garuda, Citillink, dan Pelita; berarti hanya akan ada satu perusahaan. Nah, kalau jadi satu perusahaan, izin mana yang akan dipakai? Mau Garuda yang full service atau Pelita dan Citilink yang low cost carrier [LCC],” ujarnya.

Karakter layanan maskapai pembawa bendera Garuda Indonesia yang berbeda telak dengan Citilink dan Pelita Air membawa potensi keuntungan dan kerugian tersendiri jika ketiganya melebur menjadi satu.

Salah satu dampak yang tidak terhindarkan, lanjut Alvin, adalah risiko kehilangan pangsa pasar Garuda dari yang dilayani saat ini. Risiko lainnya adalah perubahaan pengaturan izin rute dan slot penerbangan. Alvin mengatakan rute dan slot ketiga maskapai itu pasti akan berkurang jika melebur menjadi satu.

“Kalau mereka tiga entitas, mereka bisa memiliki tiga alokasi rute dan slot penerbangan. Sementara itu, kalau mereka merger, praktis alokasinya hanya untuk satu perusahaan,” tuturnya. 

Pesawat Garuda Indonesia. (Dimas Ardian/Bloomberg)


Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebut diskusi merger dilakukan perseroan bersama pihak terkait, yaitu; Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Pertamina Group selaku pemilik Pelita Air.

“Jadi saya cuma bisa kasih informasi bahwa ini belum conclude atau belum ada kesimpulan. Kami sedang analisis sematang-matangnya untuk melihat solusi terbaik dan lebih detail,” ujar Irfan ketika dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz, Selasa (22/8/2023).

Perwakilan Pelita Air maupun Pertamina Group tidak segera memberikan respons saat dimintai konfirmasi ihwal rencana merger tersebut.

Namun, menurut Irfan, diskusi merger saat ini perlu dilakukan untuk membuat rencana yang lebih lengkap, baik secara keuangan, operasional, perpajakan, maupun aspek-aspek detail lainnya.

Ketika ditanya mengenai alasan penggabungan, Irfan mengatakan terdapat alasan lainnya yang melandasi rencana penggabungan ini selain alasan yang sebelumnya disampaikan Menteri BUMN Erick.

Salah satunya adalah untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya operasional. Namun, Irfan tidak memerinci perhitungan tersebut lebih lanjut.

“Dua-duanya [ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya] iya, ada yang lainnya juga. Ini kita lengkapi dahulu, saya takut terlalu dini untuk melengkapi hal ini, masih didiskusikan supaya enggak riweuh,” jelasnya.

Perusahaan maskapai pembawa bendera berkode saham GIAA itu menargetkan diskusi dan assessment merger dengan Citilink dan Pelita Air dapat diselesaikan tahun ini guna mengantisipasi hal-hal sensitif yang tengah menjadi perbincangan.

Menteri BUMN Erick Thohir sebelumnya berencana membentuk holding klaster penerbangan. Salah satu opsinya dengan menggabungkan atau merger tiga maskapai penerbangan milik perusahaan pelat merah.

Rencana ini juga tidak lepas dari upaya penyelamatan Garuda Indonesia beberapa waktu lalu. Saat upaya itu dilakukan, Erick juga turut menyiapkan Pelita Air. "Dengan tujuan agar Indonesia tetap memiliki flag carrier nasional jika Garuda Indonesia gagal diselamatkan," kata Erick dalam siaran pers, Selasa (22/8/2023).

Sekarang, upaya penyelamatan telah rampung. Dengan demikian, langkah berikutnya adalah membuat bisnis di sektor ini menjadi lebih efisien, terutama dalam memenuhi permintaan.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (AS), terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Sementara itu, Negeri Paman Sam memiliki 300 juta populasi dengan rata-rata pendapatan per kapita mencapai US$40.000.

Di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki PDB per kapita senilai US$4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat, padahal sekarang maskapai nasional baru memiliki 550 pesawat.

(wdh)

No more pages