Berikut beberapa poin pemaparan yang kemungkinan akan menjadi sorotan dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang akan diumumkan siang nanti:
-
Perkembangan ekonomi global
Bank Indonesia biasanya memulai pemaparan hasil RDG dengan memberikan pandangan terkini tentang situasi perekonomian global.
Prediksi pertumbuhan ekonomi global akan disebutkan oleh Perry Warjiyo, Gubernur BI, umumnya disertai catatan.
Pada RDG terakhir bulan lalu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 2,7%.
Dalam RDG bulan ini, kemungkinan BI akan memberi sorotan lebih pada perkembangan perekonomian China. Kondisi pemulihan perekonomian Negeri Panda itu semakin menunjukkan kemuraman dengan krisis properti yang kian berlarut-larut.
Di sisi lain, kebijakan People Bank of China, bank sentral Tiongkok, dalam merangsang perekonomian melalui pemangkasan bunga acuan disangsikan pasar akan memadai menolong negeri itu.
Bank Indonesia juga pasti akan menyorot perkembangan terakhir perekonomian Amerika yang menurut data terakhir sedikit memberi sinyal melambat dengan penurunan aktivitas manufaktur dan pengajuan kredit rumah terendah dalam tiga dekade.
BI juga mungkin akan memaparkan prediksinya tentang outlook kenaikan Fed funds rate untuk sisa tahun ini.
-
Perkembangan ekonomi RI
Selanjutnya BI akan memaparkan perkembangan perekonomian domestik. Beberapa data terakhir memperlihatkan aktivitas penjualan mobil mencatat kontraksi, berbarengan dengan keyakinan konsumen pada Juli yang menurun.
Perekonomian RI di sisa tahun ini akan banyak mengandalkan mesin konsumsi rumah tangga ketika kinerja ekspor semakin menurun karena pelemahan permintaan global dan pesta harga komoditas yang telah berakhir.
Indeks Keyakinan Industri pada Juli tercatat menurun ke level 53,31 meskipun masih di zona ekspansi. Walau di sisi lain aktivitas manufaktur memperlihatkan tren ekspansi masih berlanjut dengan Purchasing Manager Index Juli di posisi 53,5.
-
Neraca Pembayaran dan rupiah
Bagian ini akan menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu menyusul terjadinya defisit Neraca Pembayaran pada kuartal II-2023 akibat transaksi berjalan yang defisit melebihi prediksi ditambah defisit pada transaksi modal dan finansial. BI juga akan memaparkan posisi cadangan devisa yang pada Juli lalu.
Dalam RDG Juli lalu, BI masih mempertahakan prediksi transaksi berjalan 2023 akan terjaga di kisaran surplus 0,4% dan defisit 0,4% dari Produk Domestik Bruto.
Pemaparan bagian ini akan sangat penting dalam mengelola ekspektasi pasar terhadap masa depan nilai tukar rupiah ke depan. Setelah pemaparan tentang neraca pembayaran, BI akan melanjutkan menjelaskan tentang kinerja rupiah.
Para ekonom memperkirakan, defisit neraca pembayaran dan transaksi berjalan diperkirakan masih akan berlanjut di sisa tahun ini dan berisiko menjatuhkan nilai rupiah lebih jauh, terutama bila sinyal dari Amerika menunjukkan pengetatan akan terus dilanjutkan.
Imbal hasil investasi yang semakin menyempit antara AS dan Indonesia bisa menyeret pelemahan rupiah lebih jauh.
Rupiah telah melemah 2% dalam sebulan terakhir, itupun setelah mendapatkan intervensi besar-besaran dari Bank Indonesia. Salah satunya melalui operasi moneter FX Swap di mana BI telah menyerap sedikitnya US$ 6 miliar, tiga kali lipat dari rekor tertinggi sebelumnya pada Maret 2020.
"Perhitungan kami, tanpa FX Swap, cadangan devisa terkuras hingga US$ 10 miliar dalam tiga bulan terakhir," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima Rabu (23/8/2023).
-
Inflasi
Di bagian ini kemungkinan tidak akan ada kejutan yang terlalu dicemaskan oleh pelaku pasar. Inflasi RI sudah terkendali kembali terjangkar di target bank sentral.
Ancaman dari fenomena El Nino terhadap inflasi harga pangan juga belum menjadi kewaspadaan dengan prediksi inflasi akhir tahun masih akan di kisaran 3%.
-
Perkembangan perbankan dan kinerja pertumbuhan kredit
BI akan mengawali dengan memberikan gambaran kondisi likuiditas perbankan. Selama beberapa bulan terakhir, likuiditas perbankan terlihat melimpah dan diharapkan bisa mendorong bank menggeber penyaluran kredit meski itu belum sesuai harapan dengan capaian pertumbuhan kredit Juni yang masih rendah.
Pengucuran insentif likuiditas pada penyaluran kredit di sektor-sektor prioritas, masih disangsikan bisa signifikan mendorong pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan hasil survei permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan terbaru yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pekan lalu, kelesuan permintaan pembiayaan oleh korporasi kemungkinan masih akan berlanjut hingga tiga bulan mendatang yaitu hingga Oktober 2023.
Penyebab utama, demikian hasil survei, adalah karena menurunnya kegiatan operasional akibat permintaan domestik yang melemah.
"Pembiayaan yang bersumber dari pengajuan kredit baru ke perbankan dalam negeri terindikasi melambat dibandingkan bulan sebelumnya," tulis BI dikutip Rabu (22/8/2023).
Hasil survei mencatat, penyaluran kredit baru oleh perbankan pada Juli diprediksi melambat signifikan yaitu dari Saldo Bersih Tertimbang 81,7% pada Juni menjadi cuma 45,1% pada Juli.
Kemungkinan kinerja pertumbuhan kredit pada Juli juga akan lebih buruk dibandingkan Juni bila hasil survei itu menjadi kenyataan.
Di akhir pemaparan, BI akan memberikan kesimpulan dan mengumumkan keputusan kebijakan moneter, apakah akan mempertahankan BI7DRR di kisaran saat ini, mulai menurunkannya atau bahkan menaikkannya.
Mayoritas ekonom menilai, kenaikan bunga acuan belum dibutuhkan. Sementara pemangkasan bunga acuan dinilai masih terlalu dini menilik rupiah yang masih terlalu rentan menghadapi tekanan ketidakpastian global.
"Tingkat bunga 5,75% masih memadai, naik lagi tidak ada urgensinya mengingat inflasi kita bahkan berpotensi turun di bawah 3%. Kecuali rupiah sampai Rp16.000/US$. Bila rupiah masih di kisaran Rp15.000-an, kenaikan bunga tidak perlu," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, yang memprediksi nilai tukar rupiah akan bergerak di rentang Rp15.000-an sampai akhir tahun ini.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson berpandangan senada. Langkah berikut dari BI adalah memangkas bunga acuan, alih-alih menaikkan lagi.
"Meski terlalu awal bila penurunan bunga dilakukan saat ini melihat rupiah masih rentan," kata ekonom yang memperkirakan BI akan kembali menahan bunga acuan Kamis nanti.
Ekonom LPEM Universitas Indonesia Teuku Riefky juga memprediksi bunga acuan BI7DRR masih akan bertahan di level saat ini dan belum perlu ada kenaikan bunga acuan. "Depresiasi rupiah masih terkendali, terlebih pelemahan juga sejalan dengan valuta emerging market lain," jelasnya.
(rui)