Rizal menambahkan kemungkinan dampak dari krisis sektor konstruksi China terhadap perusahaan tambang mineral di Indonesia hanya sebatas pada volatilitas harga komoditas dan suplainya saja. Hal tersebut, lanjutnya, sudah biasa dihadapi oleh korporasi pertambangan.
Di tingkat global, BHP Group – korporasi pertambangan mineral logam terbesar di dunia– melaporkan laba tahunan terendah dalam tiga tahun. Perusahaan memperingatkan prospek permintaan dari China kian tidak pasti karena negara tersebut bergulat dengan ancaman krisis di sektor konstruksi berbasis baja.
Beijing telah memberlakukan kebijakan yang dimaksudkan untuk merangsang permulaan baru di sektor properti. “Namun, kebijakan itu tidak diterjemahkan secara efektif ke dalam perubahan di lapangan seperti yang kami antisipasi," kata Chief Executive Officer BHP Mike Henry dalam sebuah wawancara di BloombergTV.
Sejauh ini China adalah pelanggan bijih besi terbesar BHP. Dua belas bulan setelah membukukan laba tertinggi karena harga melonjak, prospek ekonomi yang memburuk di negara konsumen logam terbesar dunia itu telah membawa penurunan persentase dua digit pendapatan BHP dari sektor tembaga, batu bara, dan nikel.
Laba dasar yang dapat diatribusikan BHP dari operasi yang dilanjutkan turun 37% menjadi US$13,4 miliar dalam 12 bulan hingga Juni 2023, di bawah perkiraan analis. Itu akan membayar dividen final 80 sen per saham, dibandingkan dengan US$1,75 tahun sebelumnya.
Laba BHP yang anjlok mencerminkan hal serupa yang dirasakan oleh pesaingnya di sektor bijih besi, Rio Tinto Group, bulan lalu. Para penambang menahan napas untuk kenaikan ekonomi China sejak Beijing meninggalkan pembatasan "Covid Zero" November tahun lalu.
Sejumlah data baru-baru ini menunjukkan permintaan baja dan bijih besi dapat terkontraksi untuk sisa tahun ini, sejalan dengan pasar properti China yang masih berada dalam penurunan. Pihak berwenang tidak mau mendorong pembangunan besar-besaran meskipun terjadi perlambatan yang tercermin dalam hasil industri pada Juli.
Freeport Lebih Resisten
Menanggapi hal tersebut, Rizal mengatakan apa yang dialami BHP dan Rio Tinto kemungkinan besar tidak akan dirasakan oleh korporasi kompetitornya di Tanah Air, seperti Freeport Indonesia.
“Bisnis BHP ini berbeda dengan yang dilakukan Freeport Indonesia, di mana produk BHP lebih terdiversifikasi. Sementara itu, Freeport Indonesia hanya memproduksi tembaga, emas, dan perak. BHP produknya lebih bervariasi, mulai dari bijih besi, nikel, tembaga, batu bara, potasium, dan sebagainya,” tutur Rizal.
Dia pun menilai raksasa tambang global asal Australia itu hanya mengalami penurunan laba, tetapi tetap tidak merugi gegara pasar China yang lesu. Menurutnya, faktor lain di luar ekonomi China juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, seperti kenaikan biaya produksi pertambangan serta perlambatan ekonomi Barat akibat inflasi dan suku bunga.
“Di China sendiri, karena faktor krisis properti, kecenderungan warganya sedang berhemat untuk belanja barang-barang yang tidak vital akibat pengaruh pandemi Covid–19. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dan permintaannya pun melambat,” kata Rizal.
Sekadar catatan, harga tembaga –yang notabene komoditas andalan ekspor PTFI– naik tipis pada perdagangan kemarin. Harga komoditas ini minim pergerakan, karena sedang dihantui sentimen negatif dari China.
Pada Rabu (24/8/2023), harga tembaga di London Metal Exchange ditutup di US$ 8.245/ton. Naik 0,17% dari hari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, harga tembaga hanya naik 0,74% secara point-to-point. Selama sebulan ke belakang, harga malah turun 2,37%.
Harga logam dasar sedang tertekan karena kelesuan ekonomi China, konsumen logam terbesar dunia. Berbagai data ekonomi memberi konfirmasi akan kelesuan tersebut.
Secara teknikal, harga tembaga masih berada di zona bearish. Terlihat dari skor Relative Strength Index (RSI) yang di bawah 50, tepatnya 43. Dengan skor tersebut, harga tembaga sepertinya berada di area netral. Tidak jenuh jual (oversold), tetapi juga belum masuk wilayah bullish.
Dengan demikian, potensi kenaikan harga pun menjadi relatif terbatas. Target kenaikan atau resisten terdekat ada di US$8.281/ton. Jika tertembus, maka ada peluang naik menuju US$8.442/ton, meski butuh waktu.
(wdh)