Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Indonesia sukses menjadi negara penghasil kobalt terbesar kedua di dunia, sehingga memperkuat posisi negara kepulauan tersebut sebagai salah satu pemain utama dalam rantai pasok industri kendaraan listrik.

Menurut data yang dihimpun Pemerintah Amerika Serikat (AS), produksi bahan baku baterai di Indonesia tercatat melampaui Rusia dan Australia pada 2022.

Tidak hanya itu, ekspansi produksi bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia diproyeksi terus berlanjut pada dekade ini. 

Hal itu akan membantu mencegah risiko kelangkaan bahan baku global dan mengurai ketergantungan dunia terhadap pasokan dari Kongo, yang selama ini mendominasi dua pertiga suplai kobalt global.  

Ekspansi Indonesia membentuk kembali rantai pasokan global.

Harry Fisher dan Greg Miller, analis Benchmark Mineral Intelligence

Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo telah memelopori dorongan negara untuk membangun industri baterai dan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) di tengah keberlimpahan sumber daya mineral di dalam negeri. 

Benchmark Mineral Intelligence mencatat Indonesia sejauh ini telah menghasilkan sekitar setengah dari suplai nikel dunia. Untuk kobalt, produksi RI ditaksir naik menjadi hampir 20% total produksi global pada 2030, dari hanya 1% pada 2021.

Ekspansi Indonesia “membentuk kembali rantai pasokan global,” kata Harry Fisher dan Greg Miller, analis Benchmark Mineral Intelligence melalui surel, seperti dikutip dari Bloomberg News, Rabu (08/02/2023).

Keduanya menyebut serangkaian proyek di Indonesia telah berjalan "sesuai jadwal hingga saat ini dan berhasil ditingkatkan”, meskipun masih ada kekhawatiran awal tentang pembengkakan anggaran dan biaya negara.

Ekspansi produksi kobalt di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari investasi miliaran dolar AS oleh perusahaan China di kilang yang mengeluarkan campuran kimia yang mengandung kobalt serta nikel. 

Produsen nikel global terbesar Tsingshan Holding Group Co., raksasa penyulingan kobalt Zhejiang Huayou Cobalt, serta produsen baterai terkemuka yang dikenal sebagai CATL termasuk di antara para investor yang masuk ke Indonesia.

Proyeksi produksi kobalt Indonesia (Dok. Bloomberg)

‘Game Changer’

Ekspansi produksi dari Indonesia juga telah membantu meredakan kekhawatiran akan ketatnya pasokan kobalt, yang digunakan dalam berbagai aplikasi mulai dari material ruang angkasa hingga magnet, serta baterai. 

Harga patokan kobalt global telah turun lebih dari setengahnya sejak Mei tahun lalu, dan tercatat turun 13% sepanjang tahun ini.

Sementara itu, tren penurunan harga kobalt telah memberikan keringanan biaya bagi produsen dan pembuat mobil, yang sudah mencoba untuk menghapus kobalt sebagai bahan baku baterai mereka karena masalah etika tentang produksi DRC, serta setelah gejolak harga dalam beberapa tahun terakhir. 

“Pasar kobalt global akan surplus tahun ini dan harga akan tetap ‘macet’ dalam waktu dekat karena pasokan meningkat,” kata Susan Zou, analis di Rystad Energy melalui surel kepada Bloomberg News.

“Setiap 3—4 bulan ada pengumuman baru tentang proyek yang akan datang di Indonesia, ujarnya. Ini adalah ‘game changer’ [di industri baterai EV],” lanjutnya. 

(bbn/wdh)

No more pages