“Jangan yang satu sensornya keketatan, regulasinya keketatan, sementara di sini lebih bebas,” tutupnya.
Sebelumnya, Kominfo menyebutkan akan menggandeng Lembaga Sensor Film (LSF) untuk mengkaji sensor di Netflix, seiring dengan keluhan dan laporan dari masyaraakat yang diklaim makin intens.
“Jadi gini, kami memang harus mengkaji soal sensor karena Netflix ini kan spesifik menayangkan film, sejauh terkait dengan film yang berlaku itu kan sensor, artinya mencegah tayangan-tayangan negatif apakah itu pornografi, kekerasan dan lain-lain. Nah, untuk sensor itu, kami harus kaji siapa yang berwenang? Siapa yang melakukan sensor?" ujar Dirjen Informasi Komuniasi Publik (IKP) Kemenkominfo Usman Kansong saat dihubungi Bloomberg Technoz, Senin (14/8/2023).
Usman mengatakan laporan sudah diterima oleh kementeriannya sejak 2016. Saat itu, kajian sensor ingin dilakukan, namun terhenti karena konten Netflix saat itu dinilai belum sebanyak dan seluas sekarang.
“Laporan-laporan banyak kami terima saat acara Penyiaran Nasional di Bintan. Teman-teman televisi mempertanyakan kepada kami, film-film yang ditayangkan di stasiun TV nasional saja banyak di-blur [diburamkan], merokok saja di-blur, darah di-blur, sementara Netflx bisa leluasa menayangkan apapun,” ungkap Usman.
Untuk melanjuti laporan itu, Kemenkominfo sudah berkoordinasi dengan LSF. Keduanya akan membicarakan kebijakan sensor di platform-platform over the top (OTT) dengan pihak-pihak terkait ke depannya.
“Sudah, tetapi secara personal saya sudah berdiskusi dengan ketua LSF, sudah diskusi siapa yang bertugas menyensor. Ini saya sebelum menjawab pertanyaan media sayangobrol dengan ketua lembaga sensor,” kata Usman.
Pernyataan pengkajian sensor di layanan streaming film diungkap Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie yang menilai produk OTT masuk dalam ranah penyiaran. Terlebih, secara audio visual, tayangan-tayangan di platform OTT juga harus mengikuti ketentuan UU yang berlaku di Indonesia.
(dov/wep)