“Dari skenario yang mereka miliki, ada 5 rencana investasi. Pertama transmisi dan jaringan, kedua di penghentian batubara, ketiga di energi terbarukan yang dapat dikirim, keempat adalah variabel, dan kelima di rantai pasokan untuk teknologi energi terbarukan,” ujar Paul.
Berdasarkan skenario tersebut, JETP menargetkan dapat menjangkau transisi terhadap 395 juta ton CO2 di sektor pembangkit listrik Indonesia. Namun, hal itu membutuhkan usaha yang lebih keras lagi lantaran masih banyak standardisasi yang perlu ditetapkan terkait dengan investasi sektor energi terbarukan.
Menurut Paul, masih banyak persoalan yang perlu dicermati secara lebih detail untuk mewujudkan transisi energi khususnya dari sisi pembiayaan. Namun, hal yang terpenting, sudah ada komitmen oleh anggota IPG dan Aliansi Finansial Glasgow untuk Net Zero (GFANZ) sebanyak US$20 miliar.
“Jadi kalau mau maju memang butuh banyak investasi di bidang transmisi agar energi terbarukan bisa dievakuasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” ucap Paul.
Untuk menyelesaikan proyek transisi tersebut, kata Paul, dari total investasi JETP yang dijanjikan, hanya sebagian yang benar-benar dialokasikan untuk transmisi atau pensiun dini pembangkit listrik berbasis batu bara.
Sekadar catatan, rencana akhir untuk kesepakatan investasi JETP ditargetkan dapat rampung pada akhir Oktober.
Kepala Badan Koordinasi untuk JETP Edo Mahendra mengatakan rancangan rencana investasi atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) JETP telah didistribusikan ke kelompok mitra, yang terdiri dari anggota G-7 ditambah Norwegia dan Denmark, serta ke GFANZ.
Respons balik atas CIPP tersebut diperkirakan tuntas pada September. Setelah itu, rencana investasi itu akan terbuka untuk konsultasi publik.
Jika semua berjalan dengan baik, rencana akhir bisa siap sebelum November, kata Edo. Dengan kata lain, kesepakatan akan terjadi sebelum Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-28, juga dikenal sebagai COP28, dimulai 30 November di Dubai.
“Semua mata tertuju pada JETP Indonesia karena ini adalah mode baru dalam pembiayaan energi,” kata Edo, yang pernah bertugas di departemen kependudukan dan urusan ekonomi PBB yang mencakup bidang perubahan iklim dan teknologi.
“Ini adalah ujian apakah akan berhasil atau tidak. Jadi, taruhannya tinggi, profilnya tinggi. Ini pemahaman saya, sebenarnya semua orang ingin ini berhasil.”
Peluncuran rencana tersebut semula dijadwalkan pada Agustus. JETP diharapkan memberikan pembiayaan yang terjangkau untuk membantu negara Asia Tenggara mempercepat transisi menuju energi terbarukan dan meninggalkan batu bara.
Namun, masih terdapat perbedaan pendapat yang signifikan mengenai target emisi, biaya pendanaan, dan proyek apa yang memenuhi syarat.
(mfd/wdh)