Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai proyeksi produksi minyak siap jual sejumlah 625.000 barel per hari (BOPD) dalam asumsi makro 2024 sudah cukup realistis untuk dicapai, setelah bertahun-tahun Indonesia gagal mencapai target lifting minyak.

Target lifting minyak 2024 itu turun cukup signifikan bila dibandingkan dengan bidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 di level 660.000 BOPD.

Dalam kaitan itu, Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan instansinya berusaha untuk berpikir realistis. Terlebih, dari tahun ke tahun, selalu terdapat selisih besar antara target lifting minyak dalam APBN dengan realisasi pada tahun berjalan.

“Dari cara berpikir begitu, kami mencoba gimana kalau targetnya [ditetapkan] lebih realistis. Angkanya bottom up disesuaikan dengan usulan-usulan KKKS [kontraktor kontrak kerja sama]," ujar Nanang dalam Media Briefing dengan tema Industri Migas Sangat Vital Bagi Pertumbuhan Ekonomi dan Transisi Energi, Rabu (23/8/2023).

Selain itu, target lifting 2024 dinilai lebih realistis karena tidak ada proyek-proyek baru yang signifikan untuk mendongkrak produksi minyak tahun depan. Meskipun terdapat Hidayah yang diramal memberikan kontribusi sebesar 20.000—21.000 BOPD, proyek tersebut baru dapat on stream pada 2025.

Walaupun turun dari target APBN 2023, Nanang mengatakan, target lifting 2024 tetap naik dari proyeksi realisasi tahun ini di level 620.000—621.0000 BOPD, serta realisasi lifting minyak pada 2022 sebanyak 612.000 BOPD. 

Lifting minyak dan kondensat per Mei 2023. (Sumber: Kementerian ESDM)

Enam Strategi Naikkan Lifting Minyak

Adapun, SKK Migas memiliki rencana strategis (renstra) Indonesia Oil and Gas yang terdiri dari enam pilar dengan tujuan untuk mencapai level produksi terbaik, khususnya untuk mencapai ambisi lifting 1 juta BOPD pada 2030.

Pertama,  meningkatkan nilai aset yang tersedia. Selama ini, menurut Nanang, aset-aset eksisting seperti lapangan yang dikelola KKKS belum dioptimasi; baik dari sisi biaya, produksi, maupun efisiensi energi. 

“Contohnya adalah Blok Rokan. Ketika Pertamina ambil alih [dari Chevron, produksinya] hanya 159.000 barel. Sekarang, per 17 Agustus, sudah mencapai 172.000 barel. Masih banyak kesempatan kita [untuk meningkatkan lifting minyak] walaupun di existing asset. Kita tahu Rokan sudah dikelola sejak 1940, tetapi ternyata masih punya potensi untuk ditingkatkan lagi,” terangnya. 

Pengeboran Sumur MNK Kedua Blok Rokan. (dok: Kementerian ESDM)


Kedua, sumber daya untuk akselerasi produksi. Saat ini, terdapat 30—40 rencana pengembangan atau plan of development (POD) yang sudah disetujui, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

“Apalagi, terdapat beberapa perubahan nilai keekonomian seperti kenaikan biaya, sehingga kami masih perlu melakukan peninjauan khususnya ihwal kebutuhan insentif. Pilar ini bertujuan untuk mendorong kemampuan finansial KKKS,” jelas Nanang.

Ketiga, meningkatkan pemulihan minyak atau enhanced oil recovery (EOR). Nanang mengatakan, Indonesia masih memiliki sisa cadangan yang besar.

“Untuk lapangan-lapangan sekelas Binas itu masih 100 juta remaining reserves yang bisa kita konversi menjadi produksi. Itu yang masuk renstra kita untuk implementasi kegiatan EOR,” jelasnya. 

Ilustrasi minyak dunia. (Dok: Bloomberg)


Keempat, eksplorasi. Tahun ini, SKK Migas menargetkan finalisasi 55 sumur eksplorasi. Terdapat 3 penambangan sumur lagi seperti di Andaman yang menjadi daerah baru yang mulai dilirik. Bila berhasil, lapangan itu diharapkan menjadi game changer dalam produksi minyak nasional.

Kelima, menjaga aspek kompetitif dari pemasok. Penyebabnya, bila pemasok tidak memberikan harga yang kompetitif, banyak proyek yang menjadi terpinggirkan (marginal). Keenam, inisiatif karbon rendah emisi untuk menjaga lingkungan. 

(dov/wdh)

No more pages