Karakter layanan maskapai pembawa bendera Garuda Indonesia yang berbeda telak dengan Citilink dan Pelita Air membawa potensi keuntungan dan kerugian tersendiri jika ketiganya melebur menjadi satu.
Salah satu dampak yang tidak terhindarkan, lanjut Alvin, adalah risiko kehilangan pangsa pasar Garuda dari yang dilayani saat ini.
Risiko lainnya adalah perubahaan pengaturan izin rute dan slot penerbangan. Alvin mengatakan rute dan slot ketiga maskapai itu pasti akan berkurang jika melebur menjadi satu.
“Kalau mereka tiga entitas, mereka bisa memiliki tiga alokasi rute dan slot penerbangan. Sementara itu, kalau mereka merger, praktis alokasinya hanya untuk satu perusahaan,” tuturnya.
Risiko Tidak Efisien
Hal lain yang patut diwaspadai jika Garuda, Citilink, dan Pelita Air melebur adalah risiko operasional yang makin tidak efisien. Di dalam bisnis penerbangan yang sangat diregulasi ketat, padahal, efisiensi mutlak menjadi kunci kinerja bisnis maskapai.
“Merger tiga maskapai ini akan menghasilkan satu perusahaan penerbangan yang sangat besar. Saya khawatir, bukannya efisien, justru makin tidak efisien karena organisasi yang makin besar, pembuat keputusannya pun menjadi lebih panjang. Hal ini bisa membuat mereka kalah gesit dalam merespons dinamika persaingan bisnis maskapai,” tegasnya.
Nasib Kreditur Garuda
Permasalahan selanjutnya, kata Alvin, adalah ihwal nasib kreditur Garuda Indonesia yang piutangnya direstrukturisasi melalui penundaan kewajiban pembayara utang (PKPU) tahun lalu.
“Itu kan komitmen jangka panjang. Kalau terjadi merger, apakah akan terdampak atau tidak? Ini menyangkut kepercayaan kreditur kepada Garuda, dan nasi ke depannya akan seperti apa.”
Secara operasional, lanjutnya, baik Garuda maupun Citilink dan Pelita Air memiliki budaya prosedur bisnis yang berbeda-beda. Dengan melebur ketiganya menjadi satu, tantangan ke depan justru tidak akan kian ringan.
Rawan PHK
Salah satu yang juga harus menjadi pertimbangan adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Dia mengkhawatirkan merger ketiga maskapai pelat merah itu justru akan berujung pada efisiensi SDM dalam jumlah besar.
“Apakah akan melakukan PHK [pemutusan hubungan kerja] besar-besaran? Saya kira kalau bicara soal logistik, Erick Thohir mau menekan biaya logistik. Ingat, biaya logistik ini bukan hanya tarif angkut dari penerbangan, tetapi juga pergudangan, sewa terminal kargo di bandara. Itu semua [ongkosnya] tidak terkendali selama ini. Terus-menerus naik. Lantas, efisiensinya dari mana? Kalau hanya dari harga tiket atau biaya kargo ditekan, tetapi biaya bandara tidak ditekan, ya sama saja,” jelasnya.
Lebih lanjut, Alvin berpendapat, jika pada akhirnya Garuda, Citilink, dan Pelita Air tetap beroperasi dengan jenama masing-masing; hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai merger.
“Kalau hanya menempatkan Citilink dan Pelita di bawah Garuda, nah Garuda sendiri juga holding. Ada holding di bawah holding. Lantas, apa fungsinya holding In Journey selama ini? Berarti tidak efektif kan?”
Untuk diketahui, wacana peleburan Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air dicuatkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir awal pekan ini.
Dari ketiga maskapai penerbangan itu, Garuda menjadi maskapai dengan aset terbesar. Pada 2021, total aset perusahaan mencapai US$7,19 miliar atau setara Rp107,88 triliun jika menggunakan asumsi kisaran kurs saat ini.
Sebagai catatan, aset mengacu pada laporan keuangan periode 2021, mengingat pelaporan Citilink dan Pelita Air terakhir yang tersaji adalah di periode ini. Citilink, pada periode tersebut, memiliki aset US$2,12 miliar, sedangkan Pelita Air hanya US$109,62 juta.
Dari segi pendapatan, maskapai berkode saham GIAA mencatat penurunan tahunan 10,45% menjadi US$1,34 miliar pada 2021. Sementara itu, kerugian bersih kala itu melesat 67,49% secara tahunan menjadi US$4,17 miliar.
Berbeda dengan Garuda Indonesia, Citilink mencatat kenaikan pendapatan 26,24% menjadi US$433,2 juta pada 2021. Meski naik, kerugian bersih membengkak 13,72% secara tahunan menjadi US$348,19 juta.
Meski tidak sebesar Garuda Indonesia dan Citilink, Pelita Air justru mencatat kinerja gemilang. Pendapatannya pada 2021 naik 8,9% menjadi US$52,06 juta. Sementara, laba bersihnya melesat 193,71% menjadi US$2,15 miliar.
Berdasarkan penelusuran Bloomberg Technoz terkait dengan struktur pemegang saham, sebesar 99,99% saham Pelita Air dimiliki oleh Pertamina Group. Sisanya menjadi porsi milik Pertamina Pedeve Indonesia.
Kemudian, Citilink pada 2021 berstatus sebagai anak usaha Garuda Indonesia. Ini mengingat Garuda Indonesia adalah pemegang 98,65% saham Citilink. PT Aero Wisata juga tercatat sebagai pemilik 1,35% saham Citilink.
Adapun, pemegang saham Garuda Indonesia periode 2021 adalah, Negara Republik Indonesia sebesar 60,54%, perorangan 5,78%, dan sejumlah pemegang saham lain, termasuk entitas milik pengusaha Chairul Tanjung, PT Trans Airways. Perusahaan ini memiliki 25,81% saham GIAA.
Struktur pemegang saham Garuda Indonesia kemudian berubah sejalan imbas restrukturisasi utang. Negara saat ini memiliki 64,54% saham, sementara Trans Airways berkurang drastis menjadi hanya 8%.
(wdh)