Logo Bloomberg Technoz

Dari segi pendapatan, GIAA mencatat penurunan 10,45% secara tahunan menjadi US$1,34 miliar pada 2021. Sementara, kerugian bersih kala itu melesat 67,49% secara tahunan menjadi US$4,17 miliar.

Berbeda dengan Garuda Indonesia, Citilink mencatat kenaikan pendapatan 26,24% menjadi US$433,2 juta pada 2021. Meski naik, kerugian bersih membengkak 13,72% secara tahunan menjadi US$348,19 juta.

Meski tidak sebesar Garuda Indonesia dan Citilink, Pelita Air justru mencatat kinerja gemilang. Pendapatannya pada 2021 naik 8,9% menjadi US$52,06 juta. Sementara, laba bersihnya melesat 193,71% menjadi US$2,15 miliar.

Pemegang Saham

Berdasarkan penelusuran Bloomberg Technoz terkait stuktur pemegang saham, sebesar 99,99% saham Pelita Air dimiliki oleh Pertamina. Sisanya menjadi porsi milik Pertamina Pedeve Indonesia.

Kemudian, Citilink pada 2021 berstatus sebagai anak usaha Garuda Indonesia. Ini mengingat Garuda Indonesia adalah pemegang 98,65% saham Citilink. PT Aero Wisata juga tercatat sebagai pemilik 1,35% saham Citilink.

Pesawat Garuda Indonesia (Dimas Ardian/Bloomberg)

Sementara, pemegang saham Garuda Indonesia periode 2021 adalah, Negara Republik Indonesia sebesar 60,54%, perorangan 5,78%, dan sejumlah pemegang saham lain, termasuk entitas milik pengusaha Chairul Tanjung, PT Trans Airways. Perusahaan ini memiliki 25,81% saham GIAA.

Struktur pemegang saham Garuda Indonesia kemudian berubah sejalan imbas restrukturisasi utang. Negara saat ini memiliki 64,54% saham, sementara Trans Airways berkurang drastis menjadi hanya 8%.

Rencana Erick Thohir

Rencana merger ketiga maskapai tak lepas dari upaya penyelematan Garuda Indonesia dari jeratan utang. Saat membereskan persoalan ini, Erick Thohir sejatinya enyiapkan Pelita Air menjadi maskapai penerbangan komersial. "Dengan tujuan agar Indonesia tetap memiliki flag carrier nasional jika Garuda Indonesia gagal diselamatkan," kata Erick. 

Sekarang, upaya penyelamatan telah rampung. Sehingga, langkah berikutnya adalah membuat bisnis di sektor ini menjadi lebih efisien, terutama dalam memenuhi permintaan.

Di Amerika Serikat (AS), terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Sementara, AS memiliki 300 juta populasi dengan rata-rata pendapatan per kapita mencapai US$ 40.000. 

Sementara di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki GDP USD 4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. "Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujar Erick di Tokyo, Jepang, Senin (21/08/2023).

Ketum PSSI Erick Thohir saat konferensi pers tentang PT Garuda Sepakbola Indonesia. (Dok. PSSI)

Sementara, di Indonesia terdapat 280 juta penduduk dengan pendapatan per kapita US$ 4.700. Ini berarti, lanjut Erick, Indonesia membutuhkan 729 pesawat. "Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. Jadi perkara logistik kita belum sesuai," imbuhnya.

Oleh karena itu, salah satu cara untuk memenuhi permintaan tersebut sekaligus menghemat ongkos logistik adalah dengan menggabungkan ketiga maskapai penerbangan.

"BUMN terus menekan cost. Pelindo dari sebelumnya empat perusahaan jadi satu perusahaan, logistic cost bisa ditekan jadi 11% dari sebelumnya 23%. Kamu juga upayakan Garuda Indonesia, Pelita Air dan Citilink untuk menekan cost," tutur Erick.

(dhf)

No more pages