Menurut perhitungan Kementerian Keuangan, total kebutuhan Indonesia untuk pendanaan transisi energi –termasuk pemadaman pembangkit batu bara– menembus Rp4.002 triliun atau sekitar US$281 miliar sampai dengan 2030.
Nilai tersebut dibutuhkan untuk mencapai komitmen kontribusi negara atau nationally determined contribution (NDC) terhadap misi mencapai emisi nol karbon atau net zero emission (NZE) sesuai Paris Agreement yaitu pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam sebuah kesempatan di sela rapat tingkat menteri keuangan dan dewan gubernur bank sentral Asean belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengelaborasi, setiap tahunnya, Indonesia akan meninjau ulang realisasi NDC.
Target awal pengurangan emisi karbon Indonesia melalui NDC dipatok sebesar 29%, bahkan 41% jika dengan bantuan internasional. Saat ini, target tersebut berhasil ditingkatkan menjadi 31,89% melalui NDC dan 43,2% melalui bantuan internasional.
Dalam kaitan itu, Heri berpendapat kelihaian pemerintah untuk mencari sumber pendanaan transisi energi di luar APBN tengah diuji. Terlebih, tidak mudah untuk membujuk investor mendanai pemadaman pembangkit batu bara yang ditaksir membutuhkan US$4,6 miliar hingga 2030 dan US$27,5 miliar hingga 2050.
“Investor itu melihat keuntungan. Kalau mereka investasi, apa untungnya buat mereka? Pasti pengusaha rasional dan akan mencari sektor yang dianggap ada kepastian dan menguntungkan mereka, seperti manufaktur atau pertambangan mineral. Namun, kalau investasi [untuk transisi energi], keuntungannya tidak pasti. Bisa 10—20 tahun lagi. Jadi ini tugas negara sebenarnya,” tutur Heri.
Tantangan Geografis
Selain dari segi mencari pendanaan, kata Heri, upaya meninggalkan ketergantungan terhadap pembangkit batu bara juga ditantang oleh sumber energi alternatif yang memiliki kapasitas dan suplai mumpuni untuk pembangkit skala besar.
“Energi baru terbarukan [EBT] pilihannya banyak, tetapi mana yang paling tersedia? Misal angin, [untuk pembangkit skala besar] itu sepanjang hari harus ada anginnya. Kalau panas bumi, dia juga harus bisa menyimpan supaya cukup kapasitasnya terpenuhi. Kalau kadang enggak panas, repot juga. Beda dengan batu bara, tinggal keruk, ada, dan tinggal dipanaskan terus-menerus,” ujarnya.
Secara geografis, kecepatan angin di dekat garis khatulistiwa cenderung rendah, sehingga tidak cocok untuk menghasilkan banyak tenaga listrik pembangkit tenaga bayu.
Di sisi lain, langit berawan dan kehangatan sepanjang tahun di Indonesia juga mengurangi efisiensi modul untuk pembangkit tenaga surya. Hal itu berarti potensi daya fotovoltaiknya jauh di bawah kebanyakan negara berkembang besar lainnya, setara dengan negara-negara di Eropa Barat.
Analis Kebijakan Energi International Institute of Sustainable Development (IISD) Anissa Suharsono sebelumnya menyebut nilai pinjaman lunak JETP tak akan mencukupi untuk membantu Indonesia dalam mencapai 23% bauran EBT pada 2025.
"Budget kita untuk membiayai transisi energi dana JETP Rp300 triliun belum apa-apa. Itu tidak akan cukup hanya sekadar katalis. Kenyataannya pembiayaan yang dibutuhkan untuk transisi energi sampai NZE jauh lebih besar lagi, [Bahkan bisa] berkali kali lipat," katanya dalam sebuah diskusi, awal pekan ini.
Anissa meminta pemerintah tak hanya mengandalkan dana JETP saja, melainkan juga melalui sumber pendanaan yang bisa diambil untuk menambah biaya tersebut. Misalnya, kata dia, seperti penambahan pajak batu bara hingga pinjaman bank BUMN.
"Public financial flow yang paling pertama bergerak karena kendali di bawah pemerintah dan mempengaruhi — public controlled money, subsidi, insentif, investasi dari lembaga keuangan publik," ujar dia.
Setala, peneliti Energi Institute of Energy Economic anf Financial Analysis Putra Adhiguna juga pesimistis jika dana JETP tersebut bisa memenuhi target. Dia bahkan berujar Indonesia mesti memiliki dana hingga Rp500 triliun untuk mencapai bauran EBT 23% hingga 2025.
"Tetapi ini bisa membantu menggulirkan infrastruktur awal. Jadi JETP ini sebenarnya adalah komitmen-komitmen di awal yang bisa menggulirkan bolanya," terangnya.
JETP merupakan mekanisme pendanaan program transisi energi Indonesia yang diluncurkan di sela G20 di Bali, pada November 2022. Melalui program ini, koalisi negara-negara maju akan memobilisasi dana hibah dan pinjaman lunak senilai US$20 miliar selama periode 3—5 tahun.
Program ini melibatkan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, dan Inggris.
Menurut sebuah penelitian oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan University of Maryland pada akhir 2022, setidaknya terdapat total 12 pembangkit listrik bertenaga batu bara yang layak untuk dipensiunkan dalam waktu dekat.
Kedua belas PLTU berbasis batu bara tersebut a.l. Bangka Baru di Bangka-Belitung dengan kapasitas 60 MW, Banten Suralaya di Banten dengan kapasitas 1.600 MW, Merak di Banten dengan Kapasitas 120 MW, dan Cilacap Sumber di Jawa Tengah dengan kapasitas 600 MW.
Lalu, PLN Paiton di Jawa Timur dengan kapasitas 800 MW, Tarahan di Lampung dengan kapasitas 100 MW, Asam-Asam di Kalimantan Selatan dengan kapastas 260 MW, dan Tabalog di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 200 MW.
Kemudian, Tabalong Wisesa di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 60 MW, Bukit Asam Muara Enim di Sumatera Selatan dengan kapasitas 260 MW, Cikarang Babelan di Jawa Barat dengan kapasitas 280 MW, serta Ombilin di Sumatra Barat dengan kapasitas 200 MW.
Riset tersebut juga memantau sebanyak 72 armada batu bara berkapasitas 43,4 GW yang terhubung ke jaringan listrik PLN.
(wdh)