Ia juga mengatakan bursa karbon akan segera diluncurkan tahun ini bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan fokus pada sektor kehutanan.
Sektor kehutanan di Indonesia, kata Febrio, dinilai relatif lebih maju dibandingkan dengan negara lain.
“Indonesia salah satu yang memiliki hutan paling luas di dunia bersama dengan Brazil dan Kongo. Indonesia punya potensi karbon kredit yang sangat besar,” ujar Febrio.
Pajak karbon adalah amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ketentuan Penutup UU HPP, tepatnya Pasal 17 Ayat (3), menyatakan pajak karbon mulai diterapkan pada 1 April 2022. Sasarannya, pajak karbon akan diterapkan penuh pada 2025.
Jika mengacu pada UU HPP nanti akan ada dua skema dalam penerapan pajak karbon, yaitu cap and trade dan cap and tax.
Entitas yang menghasilkan emisi melebihi batas atas (cap) emisi karbon diharuskan membeli izin emisi (SIE) dari entitas yang emisinya masih di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon). Dalam hal entitas itu tak bisa membeli SIE atau SPE atas kelebihan emisinya, sisa emisi itu akan dikenakan pajak karbon.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah akan menetapkan pajak karbon dengan tarif yang telah diamanatkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) minimal Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menuturkan pemerintah perlu hati-hati dalam mengantisipasi penerapan pajak pada sistem perdagangan karbon atau emission trading system (ETS) lantaran akan berimbas guncangan terhadap perekonomian.
“Artinya dampak positif diinginkan, namun dampak negatif dari seluruh instrumen juga diperhatikan sehingga perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas namun juga mampu melakukan transformasi,” ujarnya dalam acara Green Economic Forum 2023, Selasa (6/6/2023).
(mfd/evs)