Bloomberg Technoz, Jakarta - Belum ada sikap bearish dari analis dalam konsensus Bloomberg untuk saham emiten batu bara, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Meski demikian, tidak semua analis merekomendasikan buy saham ini.
Dari 31 analis, ada 19 yang merekomendasikan buy. Sebanyak 12 analis merekomendasikan hold, dan tidak ada analis yang merekomendasikan sell. Di balik rekomendasi saham itu, konsensus memberikan target harga saham Rp3.079,47/saham.
Saat ini, harga saham ADRO ada di level Rp2.720/saham. Artinya, saham ADRO masih ada peluang mengalami kenaikan atau upside sekitar 11,65% menuju target harga.
Analis Maybank Sekuritas Jeffrosenberg Lim merekomendasikan hold saham ADRO. Kinerja keuangan paruh waktu pertama tahun menjadi dasarnya,
Laba bersih ADRO turun 28% secara tahunan menjadi US$874 juta atau setara sekitar Rp15 triliun pada semester I-2023. Pencapaian ini hanya setara 68% dari perkiraan Maybank dan 58% dari estimasi konsensus.
Perolehan laba yang di bawah ekspektasi konsensus analis itu disebabkan oleh penurunan rata-rata harga jual atau average selling price (ASP) batu bara sebesar 19% menjadi US$94,3/ton. Penurunan harga ini bahkan belum mampu dikompensasi oleh kenaikan volume penjualan.
Jeffrosenberg lebih memilih saham PT United Tractors Tbk (UNTR) ketimbang ADRO. Ini karena ia melihat adanya potensi penurunan margin ADRO sejalan dengan normalisasi harga batu bara.
Kinerja Keuangan
Sepanjang semester I-2023, pendapatan perusahaan yang digawangi oleh Garibaldi Thohir itu mencatat penurunan pendapatan 2% secara tahunan menjadi US$ 3,48 miliar atau setara Rp52,18 triliun.
Penurunan pendapatan itu terjadi di tengan kenaikan volume penjualan 19% menjadi 32,62 juta ton. "Penurunan pendapatan terjadi akibat penurunan rata-rata harga jual 18%," ujar Garibaldi Thohir yang juga kerap disapa Boy Thohir, dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (23/8/2023).
Di tengah penurunan pendapatan, ADRO membukukan kenaikan beban pokok 34% menjadi US$2,03 miliar. Alhasil, laba kotor turun 29% menjadi US$1,45 triliun.
Penurunan itu juga yang membuat laba usaha turun 38% menjadi US$1,18 miliar, hingga pada akhirnya menyebabkan laba bersih inti menyusut 29% menjadi US$ 1,02 miliar atau setara Rp15,36 triliun.
Meski mengalami penurunan, manajemen mengklaim kinerja tersebut masih menjadi yang terbaik, mengingat banyaknya tantangan di sektor batu bara. "Walaupun ada tantangan- tantangan ini, kami berhasil mencatat margin yang sehat dengan menghasilkan laba inti US$1,02 miliar," imbuh Boy.
“Kami siap mencapai target tahun 2023 dengan dukungan eksekusi yang solid di masing-masing bisnis. Kami juga siap untuk ambil bagian dalam inisiatif hilirisasi Indonesia melalui smelter aluminium, yang mendapatkan pemenuhan keuangan di bulan Mei lalu. Hal ini menekankan komitmen kami terhadap pertumbuhan yang berkelanjutan di jangka panjang melalui strategi tiga pilar,” sambungnya.
(dhf)