“Jadi ini memang masih pada level inisiatif, detailnya saya belum bisa [sampaikan]. Ini kan karena [inisiatif] pemegang saham terbesar atau bos saya, Pak Erick. Jadi kewajiban kami [untuk] mengeksekusi dan mendalami perintah beliau,” tuturnya. Dia menambahkan bahwa Garuda pun masih menimbang untung dan rugi rencana merger tersebut.
Pertimbangan Lain
Ketika ditanya mengenai alasan penggabungan, Irfan mengatakan terdapat alasan lainnya yang melandasi rencana penggabungan ini selain alasan yang sebelumnya disampaikan Menteri BUMN Erick.
Salah satunya adalah untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya operasional. Namun, Irfan tidak memerinci perhitungan tersebut lebih lanjut.
“Dua-duanya [ketertinggalan jumlah pesawat dan menekan biaya] iya, ada yang lainnya juga. Ini kita lengkapi dahulu, saya takut terlalu dini untuk melengkapi hal ini, masih didiskusikan supaya enggak riweuh,” jelasnya.
Perusahaan maskapai pembawa bendera berkode saham GIAA itu menargetkan diskusi dan assessment merger dengan Citilink dan Pelita Air dapat diselesaikan tahun ini guna mengantisipasi hal-hal sensitif yang tengah menjadi perbincangan.
“Intinya kita menyambut baik inisiatif dari kementerian sebagai pemegang saham karena inisiatif tersebut yang terbaik bagi kita juga. Namun, detail mesti kuantifikasi dahulu, jangan sampai tujuannya baik, tetapi opsinya yang kita punya tidak baik atau ada hal yang kontraproduktif kan bisa saja,” tutupnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebelumnya berencana membentuk holding klaster penerbangan. Salah satu opsinya dengan menggabungkan atau merger tiga maskapai penerbangan milik perusahaan pelat merah.
Rencana ini juga tidak lepas dari upaya penyelamatan Garuda Indonesia beberapa waktu lalu. Saat upaya itu dilakukan, Erick juga turut menyiapkan Pelita Air.
"Dengan tujuan agar Indonesia tetap memiliki flag carrier nasional jika Garuda Indonesia gagal diselamatkan," kata Erick dalam siaran pers, Selasa (22/8/2023).
Sekarang, upaya penyelamatan telah rampung. Dengan demikian, langkah berikutnya adalah membuat bisnis di sektor ini menjadi lebih efisien, terutama dalam memenuhi permintaan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (AS), terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Sementara itu, Negeri Paman Sam memiliki 300 juta populasi dengan rata-rata pendapatan per kapita mencapai US$40.000.
Di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki PDB per kapita senilai US$4.700. Itu berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat, padahal sekarang maskapai nasional baru memiliki 550 pesawat.
"Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujar Erick di Tokyo, Jepang, Senin (21/08/2023).
Untuk itu, Erick berpendapat salah satu cara untuk memenuhi permintaan tersebut adalah dengan menggabungkan ketiga maskapai penerbangan pelat merah.
"BUMN terus menekan cost. Pelindo dari sebelumnya empat perusahaan jadi satu perusahaan, logistic cost bisa ditekan jadi 11% dari sebelumnya 23%. Kami juga upayakan Garuda Indonesia, Pelita Air dan Citilink untuk menekan cost," tutur Erick.
(dov/wdh)