Logo Bloomberg Technoz

Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi IHK per Juli lalu telah berada di angka 3,08% year-on-year dengan inflasi bulanan 0,21%. Sementara inflasi inti juga stabil di posisi 2,43% year-on-year.

Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal II bahkan tercatat lebih baik ketimbang proyeksi mayoritas ekonom yaitu hampir 5,2%, didorong oleh konsumsi domestik yang telah bangkit dan momentum belanja seputar Pemilu 2024 yang telah dimulai.

Yang masih menjadi catatan adalah pertumbuhan kredit perbankan yang masih sejauh ini masih terseok dengan capaian rendah 7,76% pada Juni lalu dan diprediksi masih akan melanjutkan kelesuan.

Berdasarkan hasil survei permintaan dan penawaran pembiayaan perbankan terbaru yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia pekan lalu, kelesuan permintaan pembiayaan oleh korporasi kemungkinan masih akan berlanjut hingga tiga bulan mendatang yaitu hingga Oktober 2023.

Penyebab utama, demikian hasil survei, adalah karena menurunnya kegiatan operasional akibat permintaan domestik yang melemah.

"Pembiayaan yang bersumber dari pengajuan kredit baru ke perbankan dalam negeri terindikasi melambat dibandingkan bulan sebelumnya," tulis BI dikutip Rabu (22/8/2023).

Hasil survei mencatat, penyaluran kredit baru oleh perbankan pada Juli diprediksi melambat signifikan yaitu dari Saldo Bersih Tertimbang 81,7% pada Juni menjadi cuma 45,1% pada Juli. 

Laju kredit yang masih lesu darah itu di satu sisi sempat memicu desakan agar bunga acuan BI7DRR bisa diturunkan demi mendongkrak penyaluran.

Akan tetapi, sejauh ini Bank Indonesia masih bertahan mengandalkan kebijakan makroprudensial dengan pengucuran insentif likuiditas bagi penyaluran kredit di sektor-sektor prioritas. Sebuah ikhtiar yang disangsikan bisa berdampak mendorong pertumbuhan kredit, di mana BI telah memangkas target dari 10%-12% menjadi 9%-11% untuk tahun ini.

Ancaman Transaksi Berjalan

Kelesuan kredit perbankan yang mungkin membutuhkan stimulus melebihi insentif likuiditas, terhadang oleh nasib rupiah yang masih menghadapi ancaman besar.

Ketidakpastian global yang berepisentrum dari arah kebijakan bunga acuan Federal Reserve, bank sentral Amerika, dan muramnya perkembangan pemulihan ekonomi China, keduanya membuat nasib rupiah dalam pertaruhan.

Data terbaru transaksi berjalan Indonesia yang mencatat defisit jauh lebih besar ketimbang perkiraan mayoritas ekonom, juga menerbitkan kekhawatiran.

Neraca Pembayaran Indonesia pada kuartal II-2023 mencatat defisit sebesar US$ 7,4 miliar, nilai defisit terbesar sejak kuartal I-2020. Pada kuartal sebelumnya, NPI masih mampu mencetak surplus US$ 6,5 miliar, tertinggi sejak kuartal III-2021.

Defisit yang terjadi pada neraca pembayaran kuartal II dipicu oleh defisit dua komponen NPI yaitu transaksi berjalan (current account) dan transaksi modal dan finansial (financial account).

BI melaporkan, transaksi berjalan pada kuartal II lalu, mencatat defisit US$ 1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto, jauh lebih besar ketimbang perkiraan ekonom yang memprediksi nilai defisit 'cuma' US$200 juta. 

Sementara defisit transaksi modal dan finansial lebih besar dengan angka mencapai US$ 5 miliar, setara 1,4% dari PDB setelah kuartal sebelumnya masih surplus US$ 3,7 miliar. 

Dua komponen yang mencatat defisit bersamaan di satu waktu sebenarnya hal yang jarang terjadi. Terakhir, Indonesia mencatat defisit di dua account itu adalah saat terjadi arus keluar modal asing dalam nilai besar ketika pecah pandemi Covid-19 yaitu pada kuartal II-2020. Terulangnya lagi defisit dua account secara bersamaan tersebut memicu memicu kekhawatiran ada masalah yang lebih fundamental.

"Kemungkinan defisit transaksi berjalan akan berlanjut di kuartal III ini akibat kemerosotan ekonomi Tiongkok dan mundurnya ekspektasi siklus pemangkasan bunga acuan the Fed dari kuartal I-2024 menjadi kuartal II-2024, defisit bahkan bisa berlanjut sampai akhir 2024," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, Rabu (23/8/2023).

Bunga Acuan Perlu Naik?

Pada sisa tahun ini, tekanan terhadap neraca pembayaran diperkirakan akan terus membesar. Surplus transaksi berjalan akan semakin menyempit akibat kebutuhan impor yang kian tinggi sementara ekspor minyak sawit mentah CPO dan batu bara stagnan.

Pada saat yang sama, transaksi modal dan finansial akan semakin lebar defisitnya akibat kian sempitnya selisih imbal hasil investasi Indonesia dengan Amerika.

"Itu memicu risiko lebih besar bagi rupiah," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima, Selasa (22/8/2023).

Rupiah telah melemah 2% dalam sebulan terakhir, itupun setelah mendapatkan intervensi besar-besaran dari Bank Indonesia. Salah satunya melalui operasi moneter FX Swap di mana BI telah menyerap sedikitnya US$ 6 miliar, tiga kali lipat dari rekor tertinggi sebelumnya pada Maret 2020. 

"Perhitungan kami, tanpa FX Swap, cadangan devisa terkuras hingga US$ 10 miliar dalam tiga bulan terakhir," kata Satria dalam catatan yang diterima Rabu (23/8/2023).

Dengan gambaran tekanan yang semakin besar dan berisiko kian menjatuhkan rupiah, ekonom menilai BI sebaiknya bersiap menaikkan bunga acuan alih-alih menurunkan atau mempertahankan di level saat ini.

"Kenaikan bunga 25 bps tidak akan menggagalkan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, itu akan memberikan jangkar yang sangat dibutuhkan bagi pasar valas," jelas ekonom.

Ekonom menilai, pengetatan diperlukan untuk mendukung stabilitas rupiah karena transaksi berjalan dan posisi cadangan devisa mencatat kinerja lebih buruk dari perkiraan. Ditambah ada risiko inflasi dari APBN 2024 meski tidak terlalu besar, di mana ada usulan kenaikan belanja untuk ASN hingga 11%, tertinggi dalam delapan tahun terakhir. Upah sektor publik cenderung berkorelasi dengan inflasi inti.

Tingkat imbal hasil surat utang Amerika, US Treasury, yang telah menembus rekor tertinggi sejak 2007 di kisaran 4,34%, diprediksi akan menjadi kenormalan baru. Dengan tingkat imbal hasil US Treasury di 4%, itu akan berdampak pada daya tarik aset-aset di emerging market tak terkecuali Indonesia.

"Dalam hal ini, BI harus menaikkan bunga acuan untuk menopang stabilitas nilai tukar," kata Satria yang memperkirakan BI akan menaikkan BI7DRR 25 bps dalam RDG Kamis nanti.

Namun, mayoritas ekonom menilai, kenaikan bunga acuan belum dibutuhkan. 

"Tingkat bunga 5,75% masih memadai, naik lagi tidak ada urgensinya mengingat inflasi kita bahkan berpotensi turun di bawah 3%. Kecuali rupiah sampai Rp16.000/US$. Bila rupiah masih di kisaran Rp15.000-an, kenaikan bunga tidak perlu," komentar Lionel yang memprediksi nilai tukar rupiah akan bergerak di rentang Rp15.000-an sampai akhir tahun ini.

Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson berpandangan senada. Langkah berikut dari BI adalah memangkas bunga acuan, alih-alih menaikkan lagi.

"Meski terlalu awal bila penurunan bunga dilakukan saat ini melihat rupiah masih rentan," kata ekonom yang memperkirakan BI akan kembali menahan bunga acuan Kamis nanti.

(rui/aji)

No more pages