Defisit yang terjadi pada neraca pembayaran kuartal II dipicu oleh defisit dua komponen NPI yaitu transaksi berjalan (current account) dan transaksi modal dan finansial (financial account).
BI melaporkan, transaksi berjalan pada kuartal II lalu, mencatat defisit US$ 1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto, jauh lebih besar ketimbang perkiraan ekonom yang memprediksi nilai defisit 'cuma' US$200 juta.
Sementara defisit transaksi modal dan finansial lebih besar dengan angka mencapai US$ 5 miliar, setara 1,4% dari PDB setelah kuartal sebelumnya masih surplus US$ 3,7 miliar.
Arus keluar dana asing dari pasar surat utang dan sistem perbankan, menyusul tingginya kebutuhan dolar AS kuartal lalu ditambah pesta harga komoditas yang berakhir dan perlambatan ekonomi global, menggenapi tekanan pada neraca pembayaran RI.
Pada sisa tahun ini, tekanan terhadap neraca pembayaran diperkirakan akan terus membesar. Surplus transaksi berjalan akan semakin menyempit akibat kebutuhan impor yang kian tinggi sementara ekspor minyak sawit mentah CPO dan batu bara stagnan.
Pada saat yang sama, transaksi modal dan finansial akan semakin lebar defisitnya akibat kian sempitnya selisih imbal hasil investasi Indonesia dengan Amerika. "Itu memicu risiko lebih besar bagi rupiah," kata Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang diterima, Selasa (22/8/2023).
Dengan gambaran tekanan yang semakin besar ke depan dan berisiko kian menjatuhkan kekuatan rupiah, ekonom menilai BI sebaiknya bersiap menaikkan bunga acuan alih-alih menurunkan atau mempertahankan di level saat ini.
"Kenaikan bunga 25 bps tidak akan menggagalkan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, itu akan memberikan jangkar yang sangat dibutuhkan bagi pasar valas," jelas ekonom.
Berkaca pada pengalaman beberapa negara lain yang memilih bertahan dari opsi kenaikan bunga acuan di tengah turbulensi akibat arah bunga acuan global, kondisi neraca pembayaran negara-negara itu malah terus memburuk dan valuta mereka semakin terseret jatuh. Hal itulah yang terjadi pada China dan Jepang. "BI tidak bisa mendapatkan semuanya sekaligus," imbuh ekonom.
Sinyal bertahan
Dalam pernyataan terbaru hari ini di acara ASEAN di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI akan terus mempertahankan kebijakan moneter dengan fokus pada stabilitas untuk memitigasi rambatan dampak ketidakpastian global tahun ini dan tahun depan.
Kebijakan moneter akan dijalankan melalui bunga acuan yang dilengkapi dengan upaya menyetabilkan nilai tukar rupiah dan memastikan kecukupan suplai dolar AS di pasar.
Perry juga menegaskan, bank sentral merespons kenaikan bunga acuan the Fed melalui kenaikan tingkat imbal hasil surat utang RI jangka pendek. Dengan begitu, animo pemodal diharapkan masih terjaga dan bisa mengerem tekanan arus modal keluar yang bisa semakin menjatuhkan nilai rupiah.
Di sisi lain, kebijakan makroprudensial akan tetap dijalankan untuk mendukung pertumbuhan kredit perbankan dan pertumbuhan ekonomi.
Perry menegaskan, tidak ada keharusan dan kebutuhan bagi Bank Indonesia untuk mengikuti langkah the Fed yang menaikkan bunga acuan. Pernyataan itu adalah penegasan kesekian kali kepercayaan diri bank sentral akan dapat mengendalikan dampak ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik.
"Yang terpenting bukanlah kebijakan bunga acuan akan tetapi tingkat imbal hasil surat utang negara. Arus masuk modal asing merespons tingkat imbal hasil SUN, makanya kami melakukan twist operation," kata Perry.
Operation twist dilakukan bank sentral dengan menjual surat utang tenor pendek agar imbal hasilnya merangkak naik dan mendatarkan kurva imbal hasil sehingga bisa mendukung otot rupiah.
"Biarkan bunga acuan Amerika naik, tapi kami akan menaikkan tingkat imbal hasil SUN tenor pendek,"
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia
Kamis pekan ini, Bank Indonesia akan menggelar Rapat Dewan Gubernur yang akan mengumumkan tingkat BI7DRR bulan Agustus, yang diprediksi akan menghasilkan keputusan mempertahankan lagi BI7DRR di level 5,75% untuk tujuh bulan berturut-turut.
Dalam pernyataan terakhir usai mengumumkan hasil RDG bulan lalu, Perry memperkirakan bank sentral Amerika Federal Reserve akan menaikkan bunga acuan 25 bps ke level 5,75% pada September 2023, berbeda dengan konsensus pasar yang sejauh ini memperkirakan kenaikan baru akan terjadi pada kuartal IV-2023.
Kenaikan FFR sebesar 25 bps akan mengantarkan tingkat bunga acuan Amerika (FFR) berada di posisi yang sama dengan Indonesia, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Akan tetapi, Bank Indonesia juga memberi sinyal tegas bahwa level bunga acuan yang berpotensi sejajar itu tidak otomatis membuat bank sentral terdesak untuk merespon dengan kenaikan BI7DRR lagi agar selisih imbal hasil dengan Amerika tetap lebar.
"Penentuan suku bunga acuan diputuskan berdasarkan perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi domestik. Inflasi kita rendah, pertumbuhan ekonomi cukup baik sehingga, ya sudah, 5,75% sudah pas, konsisten. Bila FFR naik bagaimana? Jamunya apa kalau bukan suku bunga? Jamu BI bukan hanya suku bunga makanya kita pakai jamu stabilisasi nilai tukar melalui intervensi, twist operation maupun triple intervention," jelas Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (25/7/2023).
Aksi jual pemodal di pasar surat utang domestik terus berlanjut memasuki hari ketujuh dengan tingkat imbal hasil SUN tenor 5 tahun melesat tinggi ke 6,38%, tertinggi sejak 26 April lalu.
Aksi jual di pasar surat utang terimbas gelombang jual di pasar surat utang Amerika dengan imbal hasil US Treasury melambung naik ke level tertinggi sejak 2007 silam. Pasar juga menempuh aksi jual merespons kebijakan bunga bank sentral China yang mengecewakan dengan hanya menurunkan bunga loan prime setahun sementara loan prime lima tahun dibiarkan tetap.
Analis Citi Indonesia Helmi Arman memperkirakan, BI baru akan memulai siklus penurunan bunga acuan pada kuartal IV-2023, mundur dari prediksi semula menyusul masih tingginya ketidakpastian trayektori bunga acuan the Fed. Citi memperkirakan the Fed akan mengerek bunga acuan ke level puncak 5,75% pada November tahun ini.
(rui/ezr)