Pada perdagangan Senin kemarin, yield surat utang Amerika, UST-10 tahun melesat sampai 2%, pertama kalinya sejak 2009, dan memperpanjang kenaikannya dari posisi terendah tahun ini yang mendekati 1%.
Imbal hasil UST menembus 4,35%, tertinggi sejak akhir tahun 2007 dan pagi ini terpantau bergerak sedikit melandai di kisaran 4,33%. Imbal hasil UST-2 tahun juga melesat ke atas 5% semalam walau pagi ini terlihat sedikit beringsut ke 4,99%.
Kenaikan tingkat imbal hasil surat utang AS itu didorong oleh fakta bahwa perekonomian Amerika sejauh ini masih tetap tangguh dan memaksa pelaku pasar memposisikan ekspektasi bunga acuan Federal Reserve tetap di level tinggi, bahkan setelah the Fed menjeda kenaikan pada Juni lalu dan diperkirakan kembali 'pause' pada September nanti.
Tekanan jual itu membebani surat utang sejenis dan obligasi lain yang memberikan pembayaran ekstra untuk mengompensasi inflasi. Hal itu menandakan para pemegang surat utang tengah bersiap menghadapi risiko bahwa kebijakan moneter the Fed akan tetap ketat menyusul kebutuhan bank sentral menjaga potensi kenaikan lagi inflasi Amerika.
Melambungnya tingkat imbal hasil surat utang Amerika ke level rekor semalam memperpanjang pergeseran besar yang telah terjadi di pasar obligasi dua pekan terakhir sejurus dengan berkurangnya risiko resesi dan defisit anggaran AS yang membesar dan meningkatkan pasokan surat utang di pasar.
Imbal hasil riil UST 10 tahun yang telah disesuaikan dengan inflasi telah meningkat tajam dari 1,5% pada pertengahan bulan lalu dan 1% di awal tahun. Sementara imbal hasil riil UST 30 tahun naik ke 2,11%.
Pergerakan tersebut telah menaikkan ekspektasi bahwa pasar surat utang bakal menutup kemungkinan penerapan bunga acuan sangat rendah pasca krisis keuangan. Ini juga berarti, pasar mengantisipasi bahwa the Fed akan mempertahankan kenaikan bunga acuan lebih lama dari perkiraan pasar.
Di pasar swap, para pedagang juga langsung menaikkan ekspektasi kenaikan lagi FFR 25 bps ke 5,75% dengan probabilitas hampir 40% untuk FOMC November dan sebesar 36,9% pada FOMC Desember. Itu menjadi angka probabilitas tertinggi bahkan dibandingkan bulan lalu.
Bunga acuan China
Bank sentral China, People Bank of China (PBCO) kemarin memutuskan menurunkan bunga acuan loan prime rate 1 tahun sebesar 10 bps menjadi 3,45%, lebih rendah ketimbang konsensus. Sementara bunga loan prime rate 5 tahun justru dipertahankan di posisi 4,2%, di luar ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan ke 4,05%.
Keputusan PBOC itu mengejutkan para pemodal dan meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan dengan kecemasan terhadap perbaikan ekonomi China yang terlihat mengalami rintangan besar.
Yuan langsung terperosok dan pagi ini terlihat ditahan oleh bank sentral agar tidak semakin terpuruk. Kejatuhan yuan menyeret mayoritas valuta Asia kian tak berdaya hadapi dolar Amerika. Pelemahan mata uang Asia masih berlangsung pagi ini meski indeks dolar AS memperlihatkan koreksi.
"Keputusan PBOC mengecewakan pasar dan itu akan mendorong para pelaku pasar untuk tetap mempertahankan posisi jual terhadap pasar saham dan obligasi emerging market Asia pekan ini," komentar Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas dalam catatan pagi, Selasa (22/8/2023).
Penyempitan imbal hasil
Kenaikan yield UST dipicu oleh perkiraan terus melesatnya bunga acuan the Fed menjadi kabar buruk bagi rupiah dengan kian sempitnya selisih imbal hasil antara surat utang RI dengan Amerika.
Dengan posisi saat ini yield SUN 10 tahun di 6,723% dan yield UST tenor yang sama di 4,34%, maka selisih dua surat utang itu hanya 238 bps. Secara tradisional, pemodal menilai selisih 250-300 bps sebagai jarak yang kompetitif dengan peringkat utang Indonesia yang sejauh ini masih di bawah Amerika Serikat.
Bank Indonesia akan menggelar Rapat Dewan Gubernur Kamis pekan ini dengan perkiraan pelaku pasar BI7DRR akan tetap dipertahankan di level 5,75%.
Apabila prediksi kenaikan Fed Rate ke 5,75% pada kuartal IV-2023 tahun ini terjadi, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah tingkat bunga acuan AS dan Indonesia sama. Itu akan mempengaruhi tingkat imbal hasil investasi dua negara di mana posisi Indonesia relatif lebih rentan karena kalah peringkat kredit.
Dampak lanjutan bila pemodal hengkang dari pasar domestik dan memburu aset the greenback, rupiah akan semakin terperosok.
Dalam pernyataan terakhir, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut, BI akan merespon kenaikan bunga acuan the Fed dengan menaikkan tingkat imbal hasil surat utang jangka pendek.
BI akan mempertahankan kebijakan moneter pro-stabilitas pada 2024 dengan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan makroprudensial.
Indonesia melaporkan transaksi berjalan pada kuartal II-2023 tercatat defisit US$1,9 miliar, lebih besar ketimbang prediksi pelaku pasar sebesar US$268 juta. Ini menjadi tambahan pemberat bagi pamor rupiah.
-- dengan bantuan Michael Mackenzie dan Liz Capo McCormick dari Bloomberg News.
(rui/roy)