Dia pun lantas membeberkan jika sejak 2016 hingga 2020, pemerintah telah menggelontorkan subsidi pada energi fosil mencapai 94,1%, sedangkan, untuk energi terbarukan (EBT) hanya 4,97%, serta EV dan Baterai hanya 0,94%.
"Ini menunjukkan dukungan pemerintah untuk energi fosil tetap jauh lebih tinggi dibandingkan EBT," kata dia.
Tak jauh berbeda, Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan jika pemerintah juga memilik instrumen dana yang bisa dialihgunakan untuk melakukan transisi energi, seperti hasil dari program biodiesel atau pungutan dari pelaku usaha kelapa sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau juga pembentukan Badan Layanan Usaha (BLU) yang hingga kini masih belum terealisasi.
"[Dana tersebut] sisihkan sekian persen untuk biayai transisi energi. Dengan itu, kita bisa mulai sebagai pijakan. Tidak usah banyak-banyak, bisa dimulai dari 2% sampai 4% saja dulu,” ujarnya.
Sekadar catatan, melalui program JETP tersebut, koalisi negara-negara maju akan memobilisasi dana hibah dan pinjaman lunak senilai US$20 miliar kepada Indonesia selama periode 3—5 tahun.
Program ini melibatkan kelompok negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, serta beranggotakan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, dan Inggris.
Adapun salah satu program prioritas dari JETP itu adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara di Indonesia. Terkait dengan itu, dana JETP nantinya akan langsung disalurkan ke perusahaan yang menjalankan program itu atau dikelola oleh pemerintah melalui lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI.
Di sisi lain, pemerintah sendiri juga telah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Namun demikian, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan jika realisasi bauran EBT di Tanah Air masih jauh dari harapan. Bahkan, dia mengatakan jika Indonesia—yang memiliki sumber daya banyak—masih kalah jauh dari Singapura.
"Sekarang ini kita baru [merealisasikan] 12,5%, padahal tinggal 2 tahun lagi. Apa yang harus kita lakukan? [Apalagi], kita juga punya target turunkan gas rumah kaca,” ujarnya di sela Solar Summit 2023, pertengahan Juli lalu.
(ain)